Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.[QS 27:88]

Ilmu yang membuat manusia lupa dari Al-Haq dan realitas, menurut Al-Quran sama dengan kebodohan

Mereka mengetahui hanya yang lahir dari kehidupan dunia, sedang terhadap kehidupan akhirat mereka lalai. (QS 30:7)

DIA mengajak untuk memikirkan penciptaan manusia sendiri, rahasia yang terdapat di dalam dirinya, untuk memikirkan alam batinnya dan hubungannya dengan Allah

Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui.(QS 96:5)

Kemuliaan dan Ketinggian derajat ilmu.

ALLAH meninggikan beberapa derajat orang-orang yang BERIMAN dan mempunyai ILMU (QS 58:11)

Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur'an

Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.(Al Qur'an, 21:33)

Unit Usaha



Untuk mencukupi sarana latihan wirausaha bidang ekonomi bagi santri yang sudah dewasa, maka badan usaha yang dipilih, diantaranya adalah :
  1. Penerbitan buku “ilmiah agama”. Dengan nama perusahaan : “ABSHOR Hidmah dan ibadaH”. Di samping karya tulis pengasuh sendiri yang sudah tersedia beberapa judul buku, juga tidak menutup kemungkinan untuk menerbitkan karya penulis lainnya. 
  2. Kerajinan Pigura dan Kaligrafi.
  3. Dibidang Tekhnologi & Informasi, antara lain :  Service & Maintenance PC,Laptop/Netbook, Networking, Software Development, Design Garfis, Web Design, Multimedia

Kegiatan Pondok Pesantren Assalafi Al-FITHRAH. Sumurrejo, Gunungpati, SEMARANG

  • ACARA HARIAN
  1. Kegiatan belajar dan mengajar untuk santri/wati Ponpes. Diantaranya; belajar membaca Kitab Kuning, Ilmu Agama (ilmu syari'at, ilmu hikmah dan ilmu tasawuf), Ilmu Umum dan Pembekalan serta Pelatihan bagi santri yang sudah mampu untuk dapat mendeteksi, menangani dan mengadakan penyembuhan orang kesurupan jin dan segala dampaknya. Belajar komputer dan internet bagi para santri dan para ustadz merupakan kegiatan yang diutamakan untuk masa mendatang.
  2. Istighotsah dan Dzikir bersama, untuk santri/wati, diadakan setiap ba'da sholat magrib dan sebelum sholat subuh.
  3. Usaha pemulihan bagi orang kesurupan jin dan penyembuhan bagi orang yang terkena penyakit akibat gangguan jin seperti orang terkena sihir dan santet.
  • ACARA MINGGUAN
  1. Selasa (Malam Rabu). Acara khususi (tawajjuhan bagi murid throriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah al Utsmaniyah). Dimulai sholat maghrib berjamaah (17.45)- Selesai (19.30)
  2. Jum'at (Malam Sabtu). Acara Istighotsah dan Dzikir Berjama'ah, Pembacaan Manakib Suthonil Auliya Syekh Abdul Qodir al Jilani r.a dan Maulidurrasul s.a.w serta Kirim Do'a Bersama, untuk umum. Dimulai jam 19.00 - selesai.
  3. Minggu Pagi, acara pengajian/dialog interaktif untuk umum yang diasuh oleh Kyai Muhammad Luthfi Ghozali, Pengasuh Ponpes al Fithrah Gunungpati, Semarang. Beliau juga Penulis buku-buku yang berjudul, Tawassul, Ilmu Laduni, Lailatul Qadr Di Luar Ramadhan, Kholifah Bumi, RUQYAH (dampak dan bahayanya) dll. Dimulai jam 07.00- 09.00 (hari minggu ke dua bulan Qomariyah libur)
  4. Puasa Sunnah (senin-kamis) dan sholat malam, untuk santri/wati. Istighotsah dan Sholat Malam (malam senin-malam kamis) diadakan mulai jam 00.30-selesai.
  • ACARA BULANAN
  1. Pembacaan Manakib Sulthonil Auliya Asy Syekh Abdul Qodir Al Jilani pada setiap Malam Sabtu terakhir bulan Qomariyah, dilaksanakan setelah sholat isa'.
  • ACARA TAHUNAN
  1. Haflah Maulidurrasul s.a.w untuk umum yang diselenggarakan pada setiap bulan maulid.
  2. Mujahadah dan Sholat Malam selama 40 hari untuk santri, jama'ah dan umum. Dimulai pada setiap tanggal 1 bulan Rajab-selesai.
  3. Haflah Haul & Maulidurrasul s.a.w untuk umum dalam rangka akhirus sanah Ponpes Assalafi Al Fithrah Sumurrejo Gunungpati Semarang yang diadakan setiap bulan Sya'ban.

3. MAQOM SEORANG HAMBA PART 2


Perjalanan Sang Musafir

Seorang maqom asbab, ketika Allah menghendaki mengangkat maqomnya naik ke maqom tajrid, ia akan diperjalankan melalui proses kehidupan yang logis. Hanya Allah SWT yang menghendaki. Perpindahan antara dua maqom itu akan berjalan melalui sebab-sebab yang logis. Dalam kaitan hal tersebut, seorang hamba yang matahatinya cemerlang dan tanggap mengikuti proses perpindahan maqom tersebut dengan membaca dan mengikuti tanda-tandanya.

Sebelum sampai di maqom tajrid, biasanya seorang hamba terlebih dahulu akan didudukkan di maqom “asbabut tajrid”. Keadaan dimana meski sumber rizkinya tercukupi dari sebab usaha, namun usaha itu merukapan usaha yang dimudahkan. Usaha apapun dalam bidang ekonomi yang dilakukan, selalu mendapatkan kemudahan dan lancar tanpa hambatan. Dalam maqom asbabut tajrid ini rizki seorang hamba melimpah ruah, hingga rizki itu tidak tertampung dalam pengelolaan hidup baik secara rasional terlebih secara spiritual.

Hal itu bukan dari banyaknya rizki sehingga tidak tertampung di dalam kantong-kantong uang dan rekening di Bank, akan tetapi karena ruangan dalam hati sudah terlebih dahulu dipenuhi dengan urusan akhirat sehingga urusan dunia hanya mendapatkan bagian yang kecil. Akibatnya,  dengan mengurusi harta yang sedikit saja, seakan-akan kesibukan hatinya menjadi terganggu, bahkan merasa tidak membutuhkan lagi kepada harta benda tersebut.

Seorang maqom “asbabut tajrid”, hatinya selalu merasa cukup dengan hartanya sekedar yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan ibadah. Padahal urusan ibadah yang dibutuhkan saat itu hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya saja—belum untuk kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, mereka merasa berat ngurus hartanya karena merasa terbebani dengan menjaga harta itu. Merasa repot dengan hartanya seperti repotnya seorang pengembala dengan domba-domba majikannya.

Hal itu disebabkan, karena hatinya tidak merasa memiliki atas pemilikan tersebut, meski harta itu sesungguhnya didapatkan dari hasil usaha yang diusahakan sendiri Juga karena mereka merasa yakin bahwa dengan segala kenikmatan itu akan dituntut dan untuk mempertanggungjawabkan di hadapan pemilik yang sesungguhnya

Dia takut mati dengan meninggalkan warisan harta benda. Hal itu disebabkan, karena dengan harta peninggalan itu bisa jadi akan berakibat buruk kepadanya. Akibatnya, sedikitpun tidak ada harta benda yang diatasnamakan pribadi. Semuanya sudah diserahkan kepada yang berhak sebelum ajal kematiannya tiba

Suatu saat, ketika Allah SWT berkehendak menyempurnakan kedudukannya pada maqom tajrid, Allah mengabulkan segala harapannya. Harta yang masih dimiliki dihabiskan dari penguasaannya, sehingga orang lain yang melihatnya menjadi susah dan bingung. Namun dirinya menerima kenyataan itu dengan senang hati dan damai bahkan seperti budak belian yang telah dimerdekakan oleh majikannya.

Ketika sedikit demi sedikit keadaannya dirubah. Yang asalnya jelek menjadi baik, yang asalnya kurang baik menjadi lebih baik. Teman-temannya, yang dahulu hanya yang berkaitan dengan urusan dunia kini diganti dengan teman-teman baru yang berkaitan dengan urusan akhirat.

Bahkan anggota keluarganya—karena dahulu rumah tangga itu hanya dibangun dengan landasan dunia saja—ketika sudut pandang hatinya sudah berubah, maka berubah pula orientasinya, dari yang dulunya hanya untuk  dunia saja kini yang utama adalah akhiratnya. Perbedaan sudut pandang antar anggota keluarga menjadi persoalan ketika mereka tidak berhasil menyatukan sudut pandangnya itu.

Ketika yang asalnya palsu menjadi asli, maka secara naluriah yang asli pasti akan mengajak dan menuntut supaya yang asalnya palsu juga menjadi asli. Ketika yang palsu ternyata tidak juga mau menjadi asli, maka yang palsu itu akhirnya akan terpental dan terpaksa meninggalkan diri. Itulah konsekuensi maqom kehidupan yang harus dijalani. Proses kejadian-kejadian alamlah yang telah menyeleksi. Sehingga melalui realita yang logis, satu demi satu anggota keluarga yang kurang sejalan itu meninggalkan dirinya dan akhirnya berganti menjadi anggota keluarga baru yang lebih dapat saling mengerti:

Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang ta`at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan”. (QS. at-Tahrim; 5)

Ketika saatnya Allah SWT berkehendak memindahkan hamba-Nya itu ke alam kehidupan yang lebih kekal. Allah benar-benar mematikannya dalam keadaan hati yang bersih dari kepemilikan dunia. Bukan berarti mati dalam keadaan ketiadaan harta, akan tetapi justru sedang berlimpah, namun seluruh kekayaan itu sebelumnya telah terlebih dahulu dikeluarkan dari hak kepemilikan dalam hatinya dan diserahkan kepada pemiliknya yang hakiki,  Allah SWT.

Oleh: Muhammad Luthfi Ghozali   

MENCARI ILMU LADUNI (part 3)


Dalam rangka mengenali rahasia ilmu laduni, di ayat lain Allah SWT. menyatakan sifatnya dengan lebih detail. Allah berfirman :

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19) كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآَخِرَةَ

"Jangan kamu menggerakkan dengan Al-Qur'an kepada lidahmu untuk mempercepat dengannya. Sungguh atas tanggungan Kami penyampaian secara globalnya dan pembacaannya. Maka apabila Kami telah membacakannya maka ikutilah bacaannya. Kemudian sungguh atas tanggungan Kami pula penyampaian secara perinciannya. Sekali-kali janganlah demikian, sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai dunia. Dan meninggalkan kehidupan akhirat". QS. al-Qiyamah.75/ 16-21.

Juga diriwayatkan dari Sa’id bin Jabir, dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم . إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ القُرْآنَ يُحَرِّكُ بِهِ لِسَانُه ُيُرِيْدُ أَنْ يَحْفَظَهُ ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَبَاَرَكَ وَتَعَالَى : " لَاتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ ".رواه الترمذى

Adalah Rasulullah saw. ketika ِAllah menurunkan Al-Qur’an kepadanya, beliau menggerakkan lesannya untuk menghafalkannya, maka Allah menurunkan ayat: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an hendak cepat-cepat menguasainya”. HR Tirmidzi.

Melalui ayat diatas (QS.al-Qiyamah.75/16-21) kita dapat mengambil beberapa pelajaran :

1). Dalam rangka mempelajari dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an, orang dilarang menggerakkan lesannya untuk mengikuti bacaan yang didengar, karena ingin cepat memaham dan menghafalkan ayat yang didengar itu. Bagi seorang murid tidak boleh “mbarengi” bacaan gurunya, tetapi harus membaca dibelakang bacaan gurunya.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra.: "Bahwa Rasulullah saw. saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepadanya, setelah ayat ini diturunkan, beliau diam dan mendengarkan dan apabila Jibril pergi beliau baru membacanya". HR. Bukhori. (Tafsir Fahrur Rozi.15/22)

Ditegaskan pula di dalam firman-Nya yang lain:

وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآَنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Janganlah kamu tergesa-gesa dengan Al-Qur’an sebelum selesai mewahyukannya kepadamu. Dan katakanlah:”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” QS. 20/114.

Mendengarkan dan Diam, berarti me-Non Aktifkan potensi akal dan nafsu, ternyata merupakan tombol untuk meng-Aktifkan potensi hati. Sebab, selama potensi akal dan nafsu masih aktif maka potensi hati akan tertutup rapat dari sumber inspirasi ilahiyah. Itu manakala diam tersebut dalam arti menyandarkan pertolongan dan hidayah  hanya kepada  Allah, karena "Allah yang menurunkan Al-Qur'an dan Allah pula yang akan menjaganya". (15/9)

Allah menegaskan lagi di dalam firman-Nya :

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

"Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat ". QS.al-A’raaf. 7/204.

2). Firman Allah SWT.
 إِنَّ عَلَيْنَا جمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17)  

"Inna ‘alainaa jam'ahuu wa qur'aanah", (sungguh atas tanggunganku penyampaian secara global dan proses membacannya). 

Dikatakan: Secara globalnya di dadamu kemudian bacalah. Dan apabila dibacakan, maka ikutilah bacaannya.
Lafad "Inna ‘alainaa" mengandung arti wajib. Sebagian Ulama' ahli tafsir mengartikan: seakan-akan Allah Ta’ala mewajibkan diri-Nya sendiri untuk melaksanakan janji-Nya. Dengan kata lain, ketika sebab-sebab telah tersusun dengan baik dan benar maka ilmu laduni akan diturunkan.

Selanjutnya, Ketika “perincian” dari yang global itu sudah waktunya dibacakan, yakni melalui proses romantika kehidupan, maka orang yang telah mendapat global itu harus mengikuti bacaan tersebut. Dalam arti menghadapi setiap tantangan dan menindaklajutinya dengan amal bakti, supaya ayat-ayat yang tersurat di dalam memori akal dapat dipadukan dengan ayat-ayat yang tersirat yang terbaca dalam realita, maka terjadilah arus pikir (tafakkur), lalu dengan hidayah dan petunjuk Allah Ta’ala seorang hamba akan menemukan mutiara hikmah di balik setiap kejadian dan fenomena.

Pengalaman ruhaniah adalah merupakan ilmu-ilmu spiritual (rasa) yang tidak hanya mampu menjadikan orang pintar tapi juga cerdas. Ilmu yang menjadikan hati seorang hamba yakin kepada yang sudah diketahui karena setiap keraguan hatinya telah mampu terusir.

Allah SWT. berjanji akan menolong hamba-Nya dengan membacakan perincian ilmu laduni itu, langsung dibisikkan di dalam hatinya, dalam bentuk teori-teori ilmiyah dan konsep-konsep tentang filosofi kehidupan, sebagai petunjuk dan bimbingan untuk menyelesaikan masalah di depan mata.

Adapun konsep-konsep tersebut berupa pemahaman hati yang tergali baik dari makna ayat Al-Qur’an al-Karim maupun hadits Rasulullah saw. Dengan yang demikian itu, maka ilmu orang yang mendapatkan ilmu laduni itu menjadi bagaikan pohon yang baik yang akarnya menunjang di tanah dan cabangnya menjulang di langit dan dengan izin Tuhannya buahnya dapat dimakan setiap saat.

3). Firman Allah SWT.:

كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآَخِرَة

"Sekali-kali janganlah demikian, Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai yang kontan. Dan meninggalkan yang akhir ". QS. al-Qiyamah. 75/20-21.

Lafad “Al-‘Aajilata” artinya kontan/instan, yang dimaksud adalah kehidupan duniawi. Artinya, hati orang yang mencari ilmu laduni itu tidak boleh ada kecenderungan kepada kehidupan duniawi, meski dalam arti ingin mempunyai "ilmu laduni". Mereka itu harus mampu menyandarkan segala amal ibadah semata-mata hanya mengharap ridho Ilahi Rabbi. Allahu A'lam.
 

Mencari Ilmu Laduni Part 1-3
ILMU LADUNI
Buah Ibadah dan Tawasul
Karya : Mukammad Lutfhi Ghozali

ILMU LADUNI adalah ILMU WARISAN (part 2)


Jati Diri 2 SK copyDengan pemahaman hati tersebut, seorang hamba dapat memahami secara langsung makna yang dikandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca maupun didengar. Berupa pemahaman yang amat luas dan universal sehingga kadang-kadang tidak mampu diuraikan baik melalui ucapan maupun tulisan. Pemahaman akan ma’na ayat yang didalamnya sedikitpun tidak dicampuri keraguan sehingga dapat menjadikan iman dan takwa seorang hamba kepada Allah Ta’ala menjadi semakin kuat.

Dalam menafsiri firman Allah SWT.:
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara.Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” . QS. al-Waqi’ah.56/77-79.

Ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan Al-Muthohharuun (Orang-orang yang disucikan).
  1. Dari Ibnu Abbas ra. yang dimaksud al-Kitab adalah kitab yang ada di langit, tidak ada yang menyentuhnya kecuali para malaikat yang disucikan. Seperti itu pula pendapat Anas, Mujahid, Ikrimah Said bin Jabir. Rodhiallahu ‘Anhum.
  2. Yang dimaksud Al-Qur’an disini adalah mushhab, maka tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci dari junub dan hadats. Dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
وَلاَ يَمُسُّ الْقُرْآَنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Dan tidak menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci”.*Tafsir Ibnu Katsir ayat 79 surat al-Waqi’ah*

c). Tidak dapat menyentuh terhadap pemahaman-pemahaman Al-Qur’an yang qodim (rahasia ilmu laduni) kecuali orang-orang yang hatinya bersih dan suci dari kotoran-kotoran manusiawi. Allah SWT. mengisyaratkan hal tersebut dengan firmannya :

وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا (45) وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آَذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآَنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُورًا

“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, yaitu dinding yang tertutup. Dan Kami adakan tutupan diatas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya”. QS.al-Isra’.17/45-46.

Dari ayat diatas jelas menunjukkan bahwa orang yang membaca atau mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an belum tentu memahami isinya, karena yang dibaca tersebut adalah Al-Qur’an hadits. Terhadap al-Qur’an yang hadits ini siapa saja dapat menyentuhnya. Adapun yang dipahami adalah Al-Qur’an yang qodim atau rahasia-rahasia dari ilmu laduni, terhadap al-Qur’an yang qodim ini tidak semua orang dapat menyentuhnya kecuali orang yang beriman dengan kehidupan akhirat. Sebab, yang dimaksud dengan membaca atau mempelajari adalah amalan lahir, sedangkan memahami adalah amalan bathin. Yang dibaca adalah yang lahir sedangkan yang dipahami adalah yang bathin. Maka tidak dapat menyentuh yang bathin kecuali dengan alat yang bathin pula, yaitu matahati yang cemerlang.

2). Bukti kebenaran Al-Qur’an.
Salah satu tanda-tanda kebenaran Al-Qur'an ialah bahwa isinya membenarkan isi kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Yang demikian itu menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi tersebut adalah sama-sama wahyu dari Allah Ta’ala.

3). Ilmu yang diwariskan.
Lafad “Kami wariskan”, artinya pemahaman hati tersebut diturunkan kepada orang yang menerima dengan tanpa usaha. Diturunkan semata-mata dari kehendak Allah Ta’ala, meski itu merupakan buah ibadah yang dijalani oleh seorang hamba. Oleh karena ilmu tersebut diturunkan sebagai warisan, maka tentunya yang menerima warisan itu harus mengetahui dengan pasti siapa yang mewariskan ilmu tersebut kapada dirinya. Dengan asumsi seperti itu, maka pemahaman ini hanya dapat dihasilkan dari rahasia pelaksanaan tawasul secara ruhaniyah kepada orang yang ditawasuli. Maksudnya, rahasia sumber ilmu laduni itu hanya dapat terbuka dari sebab pelaksanaan tawasul kepada orang-orang yang telah terlebih dahulu mendapatkan warisan ilmu laduni dari para pendahulunya. Jadi, ilmu laduni itu adalah ilmu yang ada keterkaitan dengan ilmu para guru mursyid sebelumnya, guru-guru Mursyid tersebut sebagai pewaris sah secara berkesinambungan sampai kepada Maha Guru yang agung yaitu Baginda Nabi Muhammad Rasulullah saw.

Ayat diatas menjadi bukti bahwa ilmu laduni yang dimaksud bukanlah sesuatu yang didapatkan dari hasil bertapa didalam gua-gua di tengah hutan atau di kuburan angker—yang kemudian orang itu mendapatkan “linuwih” atau kelebihan-kelebihan dan kesaktian—yang datangnya tidak dikenali dari mana sumber pangkalnya. Ilmu laduni adalah ilmu yang diturunkan Allah Ta’ala didalam hati seorang hamba yang dipilihNya melalui proses tarbiyah azaliah, sebagai buah ibadah yang dijalani.

Kalau ada kelebihan atau kesaktian yang didapatkan orang dari hasil berburu dengan mujahadah dan bertapa di hutan-hutan, meski orang tersebut kemudian dapat berjalan cepat seperti mukjizatnya Nabi Sulaiman as. misalnya, kelebihan seperti itu bisa jadi merupakan kelebihan yang datangnya dari fasilitas makhluk Jin. Kelebihan seperti itu terkadang hanya sebagai istidroj (kemanjaan sementara) belaka, yang kemudian sedikit demi sedikit akan dicabut lagi bersama kehancuran pemilikinya. Terlebih lagi apabila kelebihan-kelebihan itu dibarengi dengan sifat sombong dan takabbur, sehingga cenderung hanya dijadikan alat untuk unjuk kesaktian yang dipamerkan kepada orang banyak, jika demikian keadaannya, maka itu dapat dipastikan bahwa kesaktian tersebut hanyalah istidroj belaka. (bersambung)

Sejak ilmu laduni itu memancar di hati seorang hamba, maka segera saja hamparan hati itu menjadi bagaikan sungai yang bermata airnya, meski sedang datang musim kemarau panjang, sedikitpun airnya tidak pernah berkurang. Atau seperti pelita di dalam kaca kristal yang sumbunya berminyak; “yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak  disentuh api” QS.an-Nur/24. Pelita itu akan memancarkan sinarnya setiap saat, meski sumbunya tidak pernah lagi dibasahi minyak. Hal tersebut bisa terjadi, karena rahmat Allah lebih dahulu dipancarkan sebelum pemahaman itu diturunkan, sehingga hamparan dada itu menjadi tambang ilmu yang tidak pernah berhenti memancar, meskipun disaat kesempatan untuk membaca dan mendengarkan sudah tidak dapat kembali terulang.Bahkan terkadang ilmu laduni yang muncul itu sedikitpun belum pernah tertulis dalam buku dan kitab yang ada. Berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman yang aktual dan akplikatif. Hasil perpaduan ayat yang tersurat dengan ayat yang tersirat yang mampu menjadi solusi persoalan yang sedang aktual. Sebab, ketika kitab-kitab yang sudah ada itu sedang ditulis pada zamannya, keadaan yang sedang terjadi itu memang belum pernah dimunculkan oleh zaman. Seperti itulah contohnya, maka Al-Qur’an al-Karim diturunkan kepada Baginda Nabi saw. dengan cara berangsur-angsur.Wahyu Allah itu diturunkan ayat demi ayat dengan mengikuti proses perkembangan keadaan dan zaman, sehingga mampu menjadi solusi dari setiap timbulnya tantangan dan kesulitan. Sungguh sangat beruntung orang-orang yang berusaha bersungguh-sungguh mendapatkannya, meski kemudian sampai mati dia belum juga pernah berhasil mencicipi kenikmatannya, namun yang pasti minimal pernah mencium bauhnya. 

 Sumber: www.ponpesalfithrahgp.wordpress.com

ILMU LADUNI adalah ILMU WARISAN (part 1)

Jati Diri 2 SK copy
Ilmu laduni adalah ilmu warisan. Seseorang tidak mungkin mendapatkan ilmu laduni kecuali dengan sebab mendapat warisan dari orang lain, padahal yang dimaksud warisan adalah tinggalan orang mati. 
Oleh karenanya, satu-satunya jalan untuk mendapatkan Ilmu Laduni adalah melaksanakan tawasul secara ruhaniyah kepada para Guru Mursyid baik yang hidup maupun yang mati. Hal tersebut dilakukan oleh seorang salik untuk membangun sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada akibat yang baik, yakni mendapatkan ilmu laduni.
Tentang ilmu warisan ini telah dinyatakan Allah SWT dengan firman-Nya:

وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ (31) ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

"Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya * Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menyiksa diri sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar ". QS.Fathir.35/31-32.

Ilmu warisan ini termaktub di dalam firman-Nya: “Tsumma aurotsnal kitaaba”. Yang artinya ; Kemudian Kami wariskan kitab itu. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa ada suatu jenis ilmu yang tidak diturunkan kepada seseorang kecuali dengan mendapatkan warisan dari orang yang telah terlebih dahulu mendapatkannya. Untuk lebih memudahkan pemahaman—insya Allah—marilah kita ikuti penafsiran dua ayat tersebut secara keseluruhan:

Dari ayat diatas akan kita uraikan menjadi beberapa pembahasan :

1). Tentang ilmu Al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan al-Kitab (Al-Qur'an) {“wal ladzii auhainaa ilaika minal kitaab” (dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab)} di dalam ayat di atas adalah ilmu pengetahuan yang dikandung di dalam Al-Qur’an al-Karim.

Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. dalam bukunya, “Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”, berkata:

أنَّ الْقُرْآَنَ الْعَظِيْمَ كَلاَمُ اللهِ الْقَدِيْمِ وَكِتَابُهُ الْمُنَزَّلُ عَلى نَبِيِّهِ وَرَسُوْلِهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِى الْكَلاَمَ النَّفْسِىَّ الْقَدِيْمَ وَالنَّظْمَ الْمَقْرُوْءَ الْمَسْمُوْعَ الْمَحْفُوْظَ الْمَكْتُوْبَ بَيْنَ دَفْتَرِ الْمُصْحَفِ

“Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah Kalam Allah yang qodim dan Kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya dan Rasul-Nya saw. yaitu ucapan didalam hati yang qodim dan susunan kata-kata yang dapat dibaca, dapat didengar dan terjaga didalam kitab antara catatan-catatan didalam buku”.

Dengan dikaitkan pendapat al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad ra. tersebut, maka Al-Qur’an al-Karim dibagi menjadi dua bagian:

1). Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang qodim, sebagaimana firman Allah SWT:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِن

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami”.

2). Al-Qur’an sebagai Kitab yang hadits, yaitu tulisan dengan bahasa Arab yang tertulis di dalam mushab, sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar ucapan utusan yang mulia (Jibril) yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang mempunyai Arsy”.QS. at-Takwir/19-20

Maka yang dimaksud dengan al-Kitab— dalam ayat di atas—yang akan diwariskan kepada hamba-hamba dipilih, bukanlah Al-Qur’an yang hadits, melainkan Al-Qur’an yang qodim. Yakni berupa pemahaman hati dari ma’na yang dikandung Al-Qur’an yang hadits. Oleh karenanya, tidak mungkin seseorang dapat memahami al-Qur’an yang Qodim tanpa terlebih dahulu memahami makna al-Qur’an yang hadis.
Jadi, yang dimaksud ilmu warisan adalah pemahaman hati yang bentuknya tidak berupa tulisan yang dapat dilihat mata maupun suara yang dapat didengar telinga, melainkan rasa di dalam hati sebagai buah mujahadah atas dasar takwallah. Pemahaman hati tersebut bisa disebut sebagai ilmu laduni, manakala sumbernya terbit dari ilham secara langsung didalam hati yang datangnya dari urusan ketuhanan, bukan inspirasi hayali yang terkadang bisa jadi terbit dari bisikan Jin.

Al-Imam as-Suyuti ra. berkata:
"Banyak orang mengira, bahwa "Ilmu Laduni" itu sangat sulit didapat. Mereka berkata bahwa Ilmu Laduni itu berada diluar jangkauan manusia, padahal tidaklah demikian. Untuk mendapatkan Ilmu Laduni ini hanya dengan jalan membangun sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab itu adalah amal dan zuhud..." Kemudian beliau meneruskan: "Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan apa saja yang memancar darinya adalah sangat luas, bagaikan samudera yang tidak bertepi, dan Ilmu Laduni merupakan alat yang mutlak bagi seseorang untuk menafsirkan ayat-ayatnya..."

Allah Ta’ala berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarmu”. 
QS.al-Baqoroh/282.  

Itulah Ilmu Laduni, Allah mengajarkan ilmu itu kepada hamba-hamba yang terpilih dengan cara membisikkan pemahaman melalui kalbunya, yaitu hati seorang hamba yang sudah bersih dari segala kotoran karakter duniawi yang tidak terpuji, sebagai buah ibadah yang dijalani. Adalah ilmu pengetahuan yang universal dan “rahmatan lil alamiin” yang akan mampu menghantarkan manusia kepada keberhasilan hidup, baik dunia, agama maupun akhirat. Ilmu tersebut dihasilkan dari perpaduan antara ilmu, iman dan amal yang dapat menghasilkan ilmu lagi.

Ketika seseorang sedang kasmaran dengan kekasihnya misalnya, dari refleksi klimaks keasyikan yang terjadi, kerapkali memunculkan pengertian dan pemahaman yang tidak terduga. Pemahaman itu bentuk wujudnya ternyata pengalaman-pengalaman hidup yang sangat berkesan, luas, unik, serta sukar dilupakan. Yang demikian itu apabila diteliti dengan cermat dan mendalam, secara mendetail dan terperinci, apalagi ketika pengalaman-pengalaman itu kadang-kadang ternyata berupa teori-teori tentang cinta—bahkan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, padahal dia belum pernah sama sekali belajar tentang ilmu cinta, baik dengan membaca maupun mendengar. Dari manakah gerangan datangnya ilmu itu? Itulah yang dikatakan ilmu laduni, manakala ilmu itu menyangkut pemahaman hati tentang urusan ketuhanan.

Bahkan jauh lebih dalam dari itu. Dalam rangka mencari hakikat makna cinta, terkadang refleksi kerinduan yang terpendam akan sang kekasih, oleh sang perindu dijadikannya sebagai tambang inspirasi dan sumber ilham. Alam kerinduan itu dimasuki dan ditelusuri dalam bentuk pencarian-pencarian secara ruhaniah. Maka yang asalnya tidak mengerti menjadi mengerti dan yang asalnya tidak faham menjadi memahami.

"Itulah api cinta ketika bergelora
Dari tambang pengembaraan ruhaniah
Ketika api itu larut bersama sinarnya
Membakar sekat dan hijab
Menembus dinding akal dan fikir
Membuka situs-situs Lauh mahfud
Maka, ruh membaca dan akal menyimpan data
Ketika kerinduan telah mereda
Dan buramnya pandangan mata telah sirna
Maka data-data yang ada di situs itu
Ternyata tempatnya telah berpindah
Oleh karena hanya Allah yang menghendaki
Maka pindahnya data itu disebut Laduniah Rabbaniyah"


Sumber: www.ponpesalfithrahgp.wordpress.com

PROFIL

al-fithrah-profil-a1

I. LATAR BELAKANG
Semenjak didirikan Kyai Muhammad Luthfi Ghozali pada tahun tahun 1996, kini Pondok Pesantren As Salafi AL FITHRAH Sumurrejo Gunungpati SEMARANG kian menunjukkan perkembangan.
Terbukti dengan semakin meningkatnya pendatang Pondok Pesantren ini, baik sebagai santri yang menetap maupun jama’ah yang melaksanakan wirid “Khususi” berjama’ah yang dilaksanakan setiap malam Rabu. Wirid khususi tersebut adalah bagian dari amaliyah yang harus dilakukan oleh pengikut Jama’ah Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Al Utsmaniyah yang dibimbing oleh seorang guru mursyid yang mulia yaitu
asy Syekh Ahmad Asrory al Ishaqy ra.

II. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud pendirian Pondok Pesantren As Salafi AL FITHRAH adalah membentuk manusia muslim Indonesia seutuhnya yang bertaqwa kepada Allah SWT antara lain untuk :
  1. Menunjang pembangunan di bidang pendidikan, kebudayaan dan sosial.
  2. Mendidik dan mencerdaskan umat Islam.
  3. Membina manusia yang berakhlaqul karimah, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, maka kami telah melakukan berbagai usaha :
  1. Membangun masjid.
  2. Membangun asrama pondok pesantren putra dan putri.
  3. Mendirikan dan menyelenggarakan lembaga pendidikan formal dan non formal.
  4. Membentuk badan usaha untuk menghidupi biaya operasional Ponpes.
  5. Membangun Media Online sebagai sarana dakwah yang lebih luas yang dapat diakses melalui teknologi internet. Media Online tersebut antara lain : Weblog, Radio&TV Online (UNDER CONSTRUCTION)  

III. KAPASITAS
Pembangunan masjid dan pondok pesantren ini dibangun di atas tanah dengan luas dan kapasitas sebagai berikut :
  1. Luas tanah 11.000 m2
  2. Luas masjid 400 m2 dengan kapasitas 600 jama’ah.
  3. Luas asrama pondok putra dan putri 455 m2, dengan kapasitas 200 santri.

IV. BADAN USAHA
Untuk mencukupi sarana latihan wirausaha bidang ekonomi bagi santri yang sudah dewasa, maka badan usaha yang dipilih, diantaranya adalah :
  1. Penerbitan buku “ilmiah agama”. Dengan nama perusahaan : “ABSHOR Hidmah dan ibadaH”. Di samping karya tulis pengasuh sendiri yang sudah tersedia beberapa judul buku, juga tidak menutup kemungkinan untuk menerbitkan karya penulis lainnya. 
  2. Kerajinan Pigura dan Kaligrafi.
  3. Dibidang Tekhnologi & Informasi, antara lain : Service & Maintenance PC,Laptop/Netbook, Networking, Software Development

V. PENUTUP
Berdasar uraian di atas dilihat dari sisi lokasi, area yang ada, sarana dan prasarana maupun Sumber Daya Manusianya yang memadai, tentunya di Pondok Pesantren As Salafi AL FITHRAH perlu sekali diadakan pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana, sehingga apa yang menjadi maksud serta tujuan segera terwujud menjadi kenyataan. Untuk itu, kami segenap pengelola Ponpes membuka peluang dan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk ikut serta dan bekerja sama dalam mewujudkan harapan dan cita-cita bersama.


Pondok Pesantren Assalafi AL FITHRAH
KM 4 Jalan Raya Ungaran - Gunungpati - Sumurrejo, Gunungpati, SEMARANG 
Tlp. (024) 70799949, HP. 081575624914
Email.  malfi_ali@yahoo.com - alfithrahgp@gmail.com

2. MAQOM SEORANG HAMBA DI DUNIA


BAB  2, MAQOM SEORANG HAMBA DI DUNIA


ِارَادَتُكَ التَّجْرِيْدَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى الأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفِيَّةِ , وَاِرَادَتُكَ الاَسْبَابَ مَعَ اِقَامَةِ اللهِ اِيَّكَ فِى التَّجْرِيْدِ اِنْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ العَلِيَّةِ
 Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal kehendak Allah SWT mendudukkanmu di maqom asbab adalah merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal Allah SWT mendudukkanmu di maqom tajrid, berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.

Maqom hidup manusia di dunia yang pertama adalah tajrid dan yang kedua adalah asbab. Yang dimaksud maqom tajrid adalah kondisi hidup atau kedudukan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia, di mana dengan maqom itu sumber rizkinya dimudahkan oleh Allah SWT. Sumber rizki tersebut didatangkan dengan tanpa harus dicari dan diikhtiari. Meskipun datangnya melalui sebab-sebab, namun sebab-sebab sumber rizki itupun merupakan hal yang didatangkan dengan mudah.
Sebagaimana contoh kehidupan para Ulama suci lagi mulia, yang setiap hari aktifitas hidupnya hanya
mengurus santri, jama’ah dan masyarakatnya, sehingga tidak kebagian waktu untuk memikirkan sumber rizki secara lahir. Namun ternyata kebutuhan hidupnya mendapatkan kecukupan. Bahkan terkadang melebihi kecukupan hidup orang-orang yang setiap hari sibuk mencari nafkah. Dengan maqom tajrid itu, seorang hamba Allah yang ‘arifin hanya membaca sebab-sebab yang datang, kemudian menindaklanjutinya dengan amal (ikhtiar).

Adapun maqom asbab, dimana rizki seseorang tidak didatangkan kecuali melalui sebab-sebab yang diusahakan dan diikhtiari sendiri. Mereka tidak mendapatkan sumber kehidupan kecuali dari jalan ikhtiar yang dilakukan. Oleh karenanya mereka harus berikhtiar dan berusaha. Mencari dan menciptakan peluang supaya terbuka baginya sebab-sebab untuk mendapatkan kecukupan hidup. Setelah sebab-sebab itu terbangun baru ditindaklanjuti dangan amal dan usaha. Seperti itulah keadaan yang dialami kebanyakan manusia pada umumnya.

Oleh karena itu, sejak awal hidupnya seseorang yang menduduki maqom asbab itu harus mampu menciptakan sebab-sebab itu. Sejak mencari ilmu pengetahuan di bangku sekolah, melamar pekerjaan dan menciptakan sumber-sumber penghasilan. Setelah itu mereka harus menindaklanjuti lagi dengan usaha sampai mendapatkan apa-apa yang diharapkan.
Apabila kedua maqom hidup tersebut dikaitkan “usaha dan tawakkal”, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam sebuah firman-Nya: “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad (ber’azam), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran; 159).

Maka orang yang melaksanakan maqom tajrid adalah orang yang bertawakkal terlebih dahulu baru berusaha, sedangkan maqom asbab harus ber-azam terlebih dahulu untuk menciptakan sebab-sebab baru setelah itu bertawakkal.

Jangan Ingin Pindah Dari Satu Maqom Ke Maqom Yang Lain
Asy-Syekh Ibnu Ath-Tho’illah RA berkata: “Kehendakmu untuk menggapai maqom tajrid padahal kehendak Allah mendudukkanmu di maqom asbab adalah merupakan kehendak syahwat yang halus. Dan kehendakmu untuk menduduki maqom asbab padahal kehendak Allah mendudukkanmu di maqom tajrid, berarti engkau telah turun dari tingkat derajat yang tinggi”.

Maqom tajrid, sungguhpun merupakan maqom mulia, sebagai karunia besar yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya, namun demikian, selama pemiliknya masih hidup di dunia, baik dari yang berkaitan dengan urusan ukhrawi maupun duniawi, keadaan orang tersebut akan mengalami pasang surut sebagaimana sifat kehidupan dunia pada umumnya. Ketika tajridnya sedang naik, maka berarti rizki orang tajrid itupun akan ikut naik. Rizki itu didatangkan seperti air laut yang sedang pasang. Sumbernya memancar terus-menerus seakan tidak bisa putus lagi. Namun ketika tajridnya sedang turun, mereka terkadang mengalami kekeringan yang amat sangat. Seperti musim kemarau panjang yang seakan tidak dapat hujan lagi. Keadaan seperti ini bagi seorang tajrid merupakan bentuk ujian yang sangat berat.

Betapa tidak, ketika seorang tajrid harus menghadapi desakan kebutuhan realita yang tidak terelakkan. Harus memenuhi tuntutan hidup sebagai seorang kepala rumah tangga misalnya. Menghadapi kesulitan hidup yang dialami anak-anak dan istri yang terkadang bahkan dihadapkan pada masalah yang berat. Anaknya sedang sakit keras misalnya, padahal sedikitpun dia tidak dapat berusaha untuk membawa anaknya itu ke rumah sakit karena saat itu sedang tidak tersedia sarana dan dana. Dalam keadaan seperti itu, konsekwensi seorang tajrid tetap tidak boleh mengusahakan sebab yang dapat melepaskan dirinya dari kesulitan tersebut namun tetap harus menunggu, meski dihadapkan dengan kematian anaknya misalnya.
Seandainya dia masih menduduki maqom asbab seperti dahulu, barangkali dia masih dapat berusaha, walau hanya untuk mendapatkan pinjaman dari tetangga misalnya. Akan tetapi di maqom tajrid tidaklah demikian.

Ketika sebab yang pertama tidak berada di tangan, datangnya sebab itu tidak boleh diharapkan dari makhluk. Apabila hal tersebut dilakukam berarti akan menurunkannya pada derajat maqom asbab.
Seorang maqom tajrid hanya dapat menunggu kepastian yang akan terjadi. Apapun kejadiannya, yang demikian itu lebih baik baginya daripada harus menyandarkan harapan mendapat pertolongan dari makhluk. Untuk itu, dalam keadaan yang bagaimanapun seorang tajrid harus mampu memilih mana yang boleh diusahakan dan mana yang tidak.

Jika dikarenakan menghadapi ujian seperti itu lantas mereka ingin kembali turun ke maqom asbab, berarti mereka telah turun dari cita-cita yang tinggi. Apabila seorang tajrid mampu menjalani ujian itu dengan sempurna. Mereka mampu melewatinya dengan hati yang selamat dan tawakkal. Setelah melewati titik kulminasi yang sudah ditetapkan, Allah akan merubah kesusahan tersebut menjadi kegembiraan yang besar.

Sumber: www.ponpesalfithrahgp.wordpress.com

1. TANDA-TANDA LEMAHNYA YAKIN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

BAB 1, TANDA-TANDA LEMAHNYA YAKIN
مِنْ عَلَامَاتِ الإعْتِمَادِ عَلى العَمَالِ نُقْصَانُ الرّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزََّللِ
 “Tanda-tanda bergantung kepada amal, kurangnya pengharapan ketika terjadi lemahnya amal”.

Sebagai seorang hamba Allah SWT, manusia wajib mengabdi kepada-Nya, karena untuk itulah ia diciptakan. Pengabdian itu harus dijadikan sebagai landasan segala aktifitas kehidup­an di jalan-Nya. Supaya pengabdian itu bisa berjalan dengan baik, maka manusia harus melandasi pengabdiannya dengan dua sifat; Pertama sifat raja’ atau berharap dan kedua sifat khauf atau takut. Allah SWT yang mengajarkannya dalam firmanNya:
Allah SWT berfirman: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, - dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”.  (QS. Al-Hijr; 15/49-50)

Ayat diatas menyatakan dengan tegas, bahwa kedua sifat tersebut harus diterapkan manusia dalam hidupnya secara seimbang, tidak boleh berat sebelah. Maksudnya manusia tidak boleh menggantungkan harapan dan menyandar­kan rasa takut kecuali hanya kepada Allah SWT.

Sifat raja’ diperlukan agar manusia tidak terjerumus ke dalam lembah putus asa. Karena sebesar apapun dosa seorang hamba, pengampunan Allah kepada yang dikehenda­ki-Nya lebih besar dan lebih luas tak terhingga.  Sedangkan dengan sifat khauf dimaksudkan agar seorang hamba tidak sembrono dan tidak mudah lepas kontrol. Sebab, sekecil apapun dosa yang sudah diperbuat, oleh karena tidak ada seorangpun yang pernah mengadakan perjanjian dengan Allah SWT sehingga mendapatkan jaminan dimasukkan ke surga, maka tidak ada jaminan bagi seseorang untuk selamat dari dosa yang sudah diperbuatnya.

Amal Batin Adalah Buah Amal Lahir   
Amal ibadah lahir, baik shalat, puasa, zakat shadaqah, dzikir, fikir, mujahadah maupun riyadlah, apabila dilaksanakan dengan benar, semata-mata mengharapkan ridla Allah, akan membuahkan amal batin yakni ketakwaan di dalam hati dan keyakinan kepada Allah. Jika amaliyah tersebut dapat dilaksanakan secara istiqamah, sehingga iman dan yakin semakin meningkat, maka seorang hamba akan mendapatkan ma’rifatullah, yakni mengenal kepada Allah SWT.

Yang demikian itu telah disimpulkan Allah dalam suatu ayat tentang “hikmah yang terkandung” dalam perintah ibadah puasa di bulan Ramadhan. Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al-Baqoroh(2); 183).

Maksudnya, ibadah puasa, seperti juga ibadah-ibadah vertikal yang lainnya, apabila dilaksanakan dengan dasar iman serta semata-mata hanya menjalankan perintah-Nya, akan membentuk manusia menjadi seorang hamba yang bertakwa, artinya ibadah fertikal merupakan sarana latihan bagi manusia agar karakternya bisa berubah menjadi lebih baik. Manakala hikmah terbesar “puasa” bisa menjadikan seorang hamba bertakwa kepada Tuhannya, maka dengan ayat ini dapat disimpulkan bahwa amal lahir, apabila dilaksanakan dengan benar dapat membuahkan amal batin yaitu ma’rifatullah.

Namun demikian, apabila tumbuhnya kekuatan yakin atau ma’rifat itu selalu berkaitan dengan amalan lahir, dan ketika suatu saat amal lahir itu sedang lemah menjadikan keyakinan atau ma’rifatnya lemah, sehingga pengharapan kepada Allah menjadi lemah pula, maka melemahnya pengharapan kepada Allah itu merupakan tanda bahwa sesungguhnya orang tersebut hakekatnya belum bertawakkal kepada Allah, melainkan baru bertawakkal kepada amal ibadahnya. Akibatnya, ketika ia sedang jauh dari amaliyah yang di jalani itu, ia kembali akan kehilangan kepercayaan diri lagi.

Oleh karena itu, hati seorang hamba harus selalu siap menghadapi kepastian takdir-Nya, baik dalam keadaan sedang jalan wiridnya maupun tidak. Seorang SALIK harus siap di dalam hatinya, bahwa selain yang keluar dari kehendaknya (irodah) sendiri, pasti itu adalah kehendak Tuhannya. Untuk itu, apapun bentuknya—yang terjadi di dalam realita dan dari siapapun datangnya—kalau kehendak Tuhan sudah datang di hadapannya, seorang hamba yang ber-ma’rifat akan sanggup menyongsong realita tersebut dengan hati selamat. Mereka mampu berprasangka baik (husnudh-dhon), walau sedang dihadapkan dengan kematian sekalipun.

Jadi, istiqamah itu bukan hanya dalam amal perbuatan lahir dan wirid-wirid khusus saja, namun juga dan yang utama itu adalah istiqamah hati. Yakni, dalam keadaan yang bagaimanapun, baik sedang wirid maupun tidak, hatinya tetap hanya bersandar kepada Allah. Berharap dan takut hanya kepada “pemeliharaan” Sang Pemelihara Alam Semesta: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah I kepadamu". (QS. Fush Shilat; 30)

Sumber: www.ponpesalfithrahgp.wordpress.com

ABSHOR - KAJIAN HIKAM IBNU ATHO'ILLAH


Sudah banyak Ulama’-ulama’ besar mensyarahkan karya besar ini, “Kitab Al-Hikam”, buah karya seorang Ulama’ besar zamannya, yaitu Asy-Syekh Al-Imam Al-Arif Billah, Abi Fadil Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah Al-Assakandary Radliyallaahu ‘Anhum. baik dalam bahasa arab maupun secara terjemahan dan pensaduran dari syarahnya ke dalam bahasa Indonesia.

Sebuah karya tulis yang sarat berisi tentang pendidikan akhlakul karimah yang amat tinggi. Dengan kalimat-kalimat yang singkat dan sederhana tapi mengandung arti yang sangat dalam dan sangat luas. Bagaikan lautan yang tidak bertepi, buah karya yang relevansinya abadi untuk sepanjang zaman, baik yang berkaitan dengan hubungan antara sesama hamba lebih-lebih tentang hubungan antara seorang hamba kepada Ma’budnya.
Isi kitab Hikam itu merupakan konsep-konsep kehidupan yang logis dan masuk akal serta rambu-rambu jalan yang cemerlang. Kemanfaatan isi kitab ini sudah tidak diragukan lagi, bahkan hampir-hampir tidak ada seorangpun yang mendalami ilmu tasawuf dan menjalani kehidupan alam kesufian kecuali pasti telah menyelami lautannya, menenggak air susu dan madunya dan bahkan tidak sedikit yang menjadi mabuk dengan arak murninya.

Penulis mencoba ikut mensyarahkan dalam bahasa Indonesia, semata-mata untuk memenuhi kewajiban­ sebagai seorang hamba Allah yang dhoif, untuk belajar bersama-sama para santri dan teman-teman serta jamaah di pesantren.

Dalam forum kajian ini penulis berharap mendapat masukan dari para pengunjung dan pembaca web yang terhormat, silahkan Anda mengomentari dan berdiskusi di forum ini semoga menambah manfaat untuk kita semua, amiin
Sumber: www.ponpesalfithrahgp.wordpress.com

HATI YANG TIDAK SYIRIK, DO"ANYA DIKABULKAN

Setiap orang beriman pasti percaya bahwa Allah adalah Dzat yang Mengabulkan do’a-do’a hambaNya. Itu mereka yakini dari firman-Nya:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”.
(QS.al-Mu’min(40)60)

Mereka juga percaya bahwa seorang hamba berpotensi dapat melaksanakan interaksi dua dzikir kepada-Nya sebagaimana yang mereka yakini dari firman-Nya:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) –Ku”. 
(QS.al-Baqoroh(2)152)

Namun yang ada dalam kenyataan tidak demikian. Yang banyak terjadi, justru sebagian dari orang-orang yang sudah melaksanakan sholat dan puasa itu tidak mampu begitu saja mempercayai do’a mereka sendiri. Mereka tidak kuat hati untuk menyerahkan persoalan kehidupan hanya kepada Tuhan yang mereka sembah setiap hari. Terbukti, dalam mencari penyelesaian dan jalan keluar dari masalah hidup yang sedang mereka hadapi, seringkali mereka tidak percaya diri hingga terpaksa harus mendatangi dukun-dukun dan paranormal untuk mencari bantuan dalam menyelesaikan romantika kehidupan yang mereka hadapi. Fenomena membuktikan hal itu, sehingga dunia perdukunan dan paranormal akhir-akhir ini marak menjadi ajang bisnis yang menjanjikan.

Seandainya mereka benar-benar beriman dan yakin bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui keadaan mereka yang saat itu sedang susah dan membutuhkan pertolongan, maka upaya penyelesaian dengan mendatangi dukun dan paranormal itu pasti tidak akan mereka lakukan. Ilmu pengetahuan dan iman ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan hidup yang sedang mendesak itu. Hati mereka tidak yakin bahwa do’anya akan mendapatkan ijabah dari-Nya hingga masalah yang sedang dihadapi mendapatkan jalan keluar yang benar. Apabila hal tersebut dilakukan, berarti itu menunjukkan dalam hati itu masih ada penyakit syirik yang tersembunyi.

Jika hati orang-orang beriman bersih dari syirik, maka jiwa suci mereka pasti dekat dengan rahasia sistem distribusi perbendaharaan rahmat Allah sehingga matahati mereka dapat bertatap muka secara ruhaniah dan indera batin mereka dapat berkomunikasi setiap saat dengan Dzat yang mereka imani. Itulah hati para hamba Allah yang sholeh. Setiap saat mereka dapat berjumpa dan berdialog dengan Tuhannya melalui munajat yang disampaikan pada setiap pagi dan petang.

Dengan kedekatan hubungan secara ruhaniah itu, maka do’a-do’a mereka selalu mendapatkan ijabah. Tanda-tandanya, mereka tidak pernah merasa takut dan kuatir dalam segala kesulitan hidup. Hal itu tergambar dari air muka yang jernih dan damai, yang memancar dari raut wajah mereka. Itu bisa terjadi, karena dalam rongga dada mereka ada jalinan mesra secara berkesinambunag antara amal yang dilakukan dengan janji-janji Allah yang tidak pernah teringkari. Allah menyatakan keberadaan mereka itu dengan firmanNya:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(QS.al-Baqoroh(2)277).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (62) (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (63) Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”(64) (QS.Yunus(10)62-64)

Siapapun orang beriman dan bertakwa tanpa kecuali, sesungguhnya mampu malakukan hal seperti itu. Berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah Ta’ala pada setiap munajat yang mereka lakukan. Menikmanti lezatnya makanan spiritual, mencicipi manisnya arak surga yang dicurahkan di dunia. Kenikmatan ruhaniah yang terkadang bisa menjadikan para pengembara di jalan Allah mabuk kepayang di tengah perjalanan.
Setiap hamba Allah yang beriman pasti berpotensi menikmati kelezatan makanan spiritual yang dapat dirasakan setiap saat, baik disaat sedang sholat ataupun berdzikir, bahkan sekalipun mereka sedang sibuk dengan urusan dagang di pasar dan bekerja di kantor. Itu bisa terjadi, asal dalam pengabdian hidup yang mereka lakukan, baik secara fertikal maupun horizontal, mereka sanggup membersihkan rongga dada mereka dari segala penyakit manusiawi yang tidak terpuji dan dari setiap anasir virus syirik yang paling tersembunyi. Dengan itu matahati mereka menjadi cemerlang dan tembus pandang, sehingga indera batin itu hanya memelototi rahasia urusan takdir Ilahi yang azaliah meski akal dan pikiran mereka saat itu sedang sibuk dengan urusan duniawi. Itulah kenikmatan hakiki yang hanya bisa dicicipi oleh hati yang suci dan bersih dari segala karakter duniawi yang tidak terpuji.

Adapun pertemuan yang dijanjikan itu, sesungguhnya itu adalah potensi yang disediakan sejak zaman azali. Sebagai sunnahtullah yang tidak akan terjadi perubahan untuk selama-lamanya. Diturunkan kepada seorang hamba di dunia sebagai balasan amal ibadah dan pengabdian yang dilakukan dengan benar. Menjadi tanda-tanda bahwa amal ibadah itu diterima di sisiNya. Sebagai buah ibadah yang dapat dipetik dan dimakan setiap saat ketika para pengembara itu sedang kehausan di tengah perjalanan panjang. Potensi interaksi dua dzikir itu dinyatakan Allah SWT. dengan firmanNya:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(QS.al-Kahfi(18)110)

Meskipun Ijabah itu merupakan hak mutlah Allah Taala, namun demikian,  yang dimaksud dengan istilah ijabah itu sesungguhnya merupakan sistem yang sudah ditetapkan Allah sejak zaman azali, yakni rahasia urusan takdir Allah yang tercipta antara huruf KAF dan huruf NUN dari kalimat KUN FAYAKUN, barangsiapa mampu memasuki sistem tersebut dengan cara yang benar maka mereka pasti akan mendapatkan Ijabah dari-Nya. Seperti orang memasuki situs di internet, untuk men-download progam yang ada di server yang tersedia guna meningkatkan kinerja computernya, maka siapa saja bisa melakuannya asal mempunyai dan menguasai tehnologinya serta mengetahui password-nya.

Adapun urusan rahasia huruf KAF dan NUN tersebut berada di dalam  setiap hati yang selamat dari  hati hamba-hamba Allah yang sholeh yang setiap saat dikehendaki untuk hadir di haribaan-Nya, mereka itu adalah para kekasih yang dikasihi, dengan izin-Nya setiap berdo'a untuk umatnya selalu mendapat ijabah dari-Nya, karena doa-doa tersebut mampu dipancarkan dari hati yang sudah dipenuhi dengan rahmat Allah, hati yang rahmatan lil alamiin, Allahu A'lam.   
(malfiali, 2011)

Advertise