Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.[QS 27:88]

Ilmu yang membuat manusia lupa dari Al-Haq dan realitas, menurut Al-Quran sama dengan kebodohan

Mereka mengetahui hanya yang lahir dari kehidupan dunia, sedang terhadap kehidupan akhirat mereka lalai. (QS 30:7)

DIA mengajak untuk memikirkan penciptaan manusia sendiri, rahasia yang terdapat di dalam dirinya, untuk memikirkan alam batinnya dan hubungannya dengan Allah

Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui.(QS 96:5)

Kemuliaan dan Ketinggian derajat ilmu.

ALLAH meninggikan beberapa derajat orang-orang yang BERIMAN dan mempunyai ILMU (QS 58:11)

Keberadaan air adalah satu indikasi adanya kehidupan di suatu planet. Tanpa air, mustahil ada kehidupan. Inilah satu kebenaran ayat Al Qur'an

Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.(Al Qur'an, 21:33)

MENYINGKAP ALAM GHAIB Part 1, HIKMAH ISRA' MI'RAJ


 

Peristiwa-peristiwa besar dan luar biasa yang ditampilkan Allah s.w.t di dalam perjalanan Isro’ Mi’roj Nabi Besar Muhammad s.a.w, yang sekaligus merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya yang wajib diimani oleh setiap pribadi muslim, di antaranya ada tiga kejadian:

1.    Dengan Ilmu dan urusan Allah Seorang hamba berpotensi berdialog langsung dengan Tuhannya.
Itulah kejadian yang paling besar dan luar biasa dari kejadian yang terjadi di dalam peristiwa Isro’ Mi’roj Nabi Besar Muhammad s.a.w. Baginda Nabi s.a.w adalah satu-satunya manusia di waktu masih hidupnya pernah berdialog langsung dengan Allah s.w.t. Dialog tersebut terjadi di dimensi lain dari dimensi yang ada di dunia ini dengan tanpa hijab dan tanpa perantara. Setelah pertemuan itu Beliau dapat kembali lagi ke dimensi alam dunia ini dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, bahkan dengan membawa ilmu pengetahuan yang luar biasa. Hal tersebut bisa terjadi karena Allah telah menyatakan potensi itu dengan firman-Nya:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (QS. asy-Syuraa; 42/51)
Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari peristiwa tersebut merupakan ilmu yang sangat luar biasa. Ilmu pengalaman atau ilmu rasa yang tiada duanya. Ilmu pengetahuan yang mampu membuka tabir rahasia kehidupan yang sebelum itu belum pernah diketahui oleh siapapun. Dengan peristiwa itu kebesaran Allah s.w.t dengan segala ciptaan-Nya yang ada di dimensi lain telah terkuak dengan nyata.
Keadaan di alam barzah dan alam akherat telah dipertontonkan kepada manusia yang paling dapat dipercaya itu, sehingga ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada manusia, cerita-cerita itu tidak disertai dengan kebohongan, baik yang disengaja maupun tidak. Oleh karenanya, seharusnya manusia yang hidup di zaman sesudahnya wajib bersyukur, terlebih bagi umatnya yang beriman. Karena dengan peristiwa itu mereka menjadi tahu serta mengenal jalan-jalan yang harus ditempuh di dalam hidupnya. Bahwa tujuan akhir dari pengabdian yang dijalani, manakala seorang hamba telah sampai kepada Tuhannya. Dapat wushul sehingga dapat mengenal (ma’rifat) kepada-Nya.
Perjalanan Isra’ dan Mi’raj itu merupakan mu’jizat terbesar selain mu’jizat besar yang lain. Perjalanan yang tidak masuk akal. Betapa seorang manusia dengan dimensi manusianya mampu memasuki relung dimensi ghaib hingga dapat mengetahui dan melihat dengan kasat mata keadaan-keadaan yang ada di dalam dimensi itu. Nilai terbesar dari peristiwa itu ialah, setelah seorang hamba diperlihatkan kepada keajaiban-keajaiban tersebut, di akhir perjalanan dipertemukan kepada Sang Pencipta Yang Maha perkasa yang telah memperjalankannya.
Mu’jizat besar Nabi akhir zaman itu bukan mendapat kesaktian yang luar biasa sehingga dapat mengalahkan musuh-musuh utamanya—seperti mu’jizat Nabi Musa a.s yang dengan kekuatan dari Allah s.w.t, dapat mengalahkan Fir’aun dengan seluruh kekuatannya. Arti mu’jizat besar itu ialah, dengan ilmu yang dapat, menjadikan seorang hamba mengenal (ma’rifat) kepada Tuhannya hingga menjadikannya mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki kepada-Nya.
Ini adalah gambaran ‘tujuan akhir’ dari sebuah perjalanan ibadah. Jalan thoriqoh yang ditempuh para salik dalam kehidupan beragama. Tujuan akhir itu bukan supaya mereka para salik itu jadi orang kaya, bukan supaya manusia mempunyai karomah-karomah sehingga menjadi orang khowas atau waliyullah, bukan untuk mendapatkan harta karun yang diyakini oleh sebagian orang tersimpan di kuburan-kuburan kuno, bukan supaya orang mendapatkan khodam-khodam dari bacaan yang diwiridkan supaya orang bisa menolong kesulitan orang lain, bukan untuk menjadi tabib-tabib supaya manusia bisa mengobati orang yang sedang sakit, bukan supaya menjadi orang kuat agar bisa menanggulangi orang yang kesurupan Jin. Tujuan akhir perjalanan ibadah itu supaya seorang hamba dapat berbakti kepada Tuhannya dengan pengabdian yang sempurna.

2.    Dengan Ilmu dan Kehendak Allah s.w.t seorang hamba yang masih hidup berpotensi bersama-sama melaksanakan satu pekerjaan dengan orang lain yang sudah mati.
Di dalam peristiwa Isro’, Baginda Nabi s.a.w melaksanakan shalat berjama’ah bersama para Nabi yang sudah meninggal dunia dan ketika bermi’roj Beliau s.a.w juga bertemu dan berdialog dengan mereka dalam rangka membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan umat manusia di masa mendatang.
Itulah pertemuan antara dua manusia yang sudah berada pada dimensi yang berbeda, yang satu manusia dengan dimensi basyariah dan satunya dengan dimensi barzahiah atau yang hidup pada dimensi alam barzah. Peristiwa ini menujukkan bahwa manusia yang masih hidup, dengan ilmu Allah s.w.t dan izin-Nya dapat bertemu dan bersama-sama dalam satu pekerjaan dengan orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Untuk memahami rahasia yang terkandung di dalam peristiwa tersebut, ada satu pertanyaan; “Manusia yang masih hidup di dunia memasuki dimensi alam barzah ataukah manusia yang sudah meninggal dunia kembali memasuki dimensi alam dunia…?” Kalau kita sudah sepakat bahwa orang mati tidak dapat hidup lagi, maka berarti, di dalam peristiwa isro’ mi’roj itu orang dengan dimensi dunianya berhasil menembus lapisan alam sehingga dapat memasuki dimensi alam barzah.
Sungguh peristiwa tersebut telah membuka tabir ghaib dan sekaligus menjadi bukti bahwa orang mati dapat saling memberi kemanfaatan kepada saudaranya yang masih hidup, Rasulullah s.a.w adalah pelopor perjalanan itu. Dengan syafa’at beliau yang sudah ada di tangan serta ilmu Allah dan izin-Nya, semestinya umat penerus perjuangan atau Ulama’ pewaris Beliau dapat mengikuti perjalanan itu walau tentunya di dalam keadaan dan kondisi yang berbeda.
Dalam keadaan sadar mereka mengadakan perjalanan ruhaniah untuk menembus dimensi alam barzah dengan melaksanakan interaksi ruhaniah atau tawasul kepada guru-guru ruhani, yaitu para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Syuhada’ dan ash-sholihin yang telah mendahului menghadap kepada Allah s.w.t. Dengan itu seorang hamba mampu merasakan keberadaan mereka di saat bersama-sama dalam pengembaraan tersebut untuk sampai atau wushul kepada Tuhannya.
Allah s.w.t telah mengisyaratkan peristiwa itu dengan firman-Nya:

“Ketika “Sidrah” diliputi oleh sesuatu yang meliputinya . Penglihatan (manusia) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya . Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. QS.an-Najm; 53/16-18 (bersambung)



Oleh Muhammad Luthfi Ghozali

ALASAN 5, (Orang diRuqyah Kesurupan ?) Jin Mana Yang Akan Dikeluarkan?


Jika yang dikatakan ruqyah tersebut benar dapat mengeluarkan jin dari tubuh manusia, bukan sebaliknya. Pertanyaannya, Jin yang mana yang akan dikeluarkan dari tubuh manusia itu…?. Dalam kaitan ini kita akan membadah kandungan makna dari tiga hadits Rasulullah saw.:

Untuk membicarakan dimensi jin, oleh karena berkaitan dengan keadaan yang ghaib bagi indera lahir, maka hanya wahyu yang berhak membicarakannya, baik ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Orang beriman wajib mengimaninya. Adapun kedudukan hadits shoheh sejajar dengan ayat al-Qur’an. Allah Ta’ala telah menyatakan dengan firman-Nya: yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. – Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), QS: 53/3-4.

Berikut ini tiga hadits yang kita jadikan bahan kajian:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ  فَضَيِّقُوْا مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ
“Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.

Atau dengan kalimat yang lain:
حَدِيثُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ لِأَنْقَلِبَ فَقَامَ مَعِيَ لِيَقْلِبَنِي وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَرًّا أَوْ قَالَ شَيْئًا

Diriwayatkan dari Sofiah binti Huyai r.a berkata: Pada suatu malam ketika Nabi s.a.w sedang beriktikaf aku datang menghampiri baginda. Setelah puas berbincang-bincang dengan baginda, akupun berdiri untuk pulang. Rasulullah s.a.w ikut berdiri untuk mengantarku. Tempat tinggal Sofiah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba datang dua orang Ansar. Ketika mereka melihat Nabi saw mereka mempercepatkan langkahnya. Lalu Nabi saw bersabda: Perlahankanlah langkahmu. Sesungguhnya ini adalah Sofiah binti Huyai. Kedua orang angsor itu berkata Maha suci Allah, wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia. Sebenarnya aku hawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua
•    Riwayat Bukhori di dalam Kitab I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751.
•    Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041.
•    Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342.
•    Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769.

Ternyata setan jin dapat bebas keluar masuk didalam tubuh manusia melalui jalan darahnya. Supaya jin tidak bebas keluar masuk seenaknya, hendaklah manusia menyempitkan jalan darahnya dengan lapar atau ibadah puasa. Artinya dengan pengendalian nafsu syahwat, baik melalui puasa maupun ibadah-ibadah yang lain manusia dapat mengupayakan jalan masuk jin yang ada dalam tubuhnya menjadi sempit. Dalam arti lain, orang yang ingin menjaga darinya dari tipu daya setan jin tidak harus diruqyah melaikan bisa dengan berpuasa.
Sedangkan hadits yang kedua adalah sebagai berikut:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وَكَّلَ قََرِيْنَهُ مِنَ الْجِنِّ . قَاُلْوا أَاَنْتَ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ : وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللهَ قَدْ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّ بِالْخَيْرِ . رواه مسلم
“Tidaklah dari salah satu diantara kalian kecuali sesungguhnya Allah telah mewakilkan temannya dari jin, mereka bertanya: “Apakah engkau juga ya Rasulullah?”, Rasul saw. menjawab: “Dan juga kepadaku, hanya saja sesungguhnya Allah telah menolongku mengalahkannya, maka ia masuk islam, maka ia tidak memerintah kepadaku kecuali dengan kebaikan”. (HR Muslim)

Ternyata di dalam diri Rasulullah saw juga ada jin, hanya saja berkat pertolongan Allah Ta’ala jin itu masuk islam, maka jin itu bukan menjadi setan melainkan menjadi Qorin (teman) yang baik. Maka jin tersebut tidak memberikan informasi kepada Baginda Nabi saw. kecuali yang berkaitan dengan kebaikan Beliau.
Supaya manusia mandapatkan penjagaan dari Alloh terhadap potensi gangguan setan jin yang ada dalam tubuhnya sendiri, hendaklah mereka selalu melaksanakan mujahadah di jalan Allah, bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada-Nya, baik dengan puasa, dzikir maupun ibadah-ibadah yang lain. Jika hal tersebut bisa dilakukan, maka matahati orang tersebut menjadi cemerlang dan tembus pandang. Rasulullah SAW menyatakan hal tersebut dengan sabdanya:
لَوْلاَ أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِى آَدَمَ لَنَظَرُوْا اِلَى مَلَكُوْتِ السَّمَاوَاتِ
“Kalau sekiranya syaithan tidak meliputi hati anak Adam, pasti dia akan melihat alam kerajaan langit”.

Sekiranya setan jin tidak meliputi hati manusia, maka sorot matahati orang tersebut dapat menembus alam malakut. Matahati mereka dapat menembus alam ghaib, baik ghaibnya alam malakut yang ada di langit maupun alam ghaibnya alam malakut yang ada di balik dada manusia. Jika hal tersebut belum dapat dicapai, maka berarti di dalam hati orang tersebut masih berpotensi diliputi was-was setan yang berarti pula di dalam tubuhnya masih terdapat segerombolan setan jin yang setiap saat siap menerkam dan menguasai kesadarannya. Seandainya Allah Ta’ala tidak melindungi hamba-Nya, maka tidak seorangpun dapat selamat dari kejahatan setan jin yang terkutuk. Allah Ta’ala telah menegaskan dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. QS:24/21.

Apa saja yang menyebabkan kekejian berarti perbuatan keji dan apa saja yang menyebabkan kemungkaran berarti perbuatan mungkar. Maka orang yang menimbulkan penyakit kepada orang lain berarti orang tersebut adalah sumber penyakit. Jika ada orang berbuat demikian, baik sengaja maupun tidak, berarti orang tersebut telah mengikuti langkah-langkah setan sebagaimana yang telah diisyaratkan Allah Ta’ala dengan firman-Nya di atas. Lebih tegas Allah memberi peringatan dengan firman-Nya:

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. QS:4/83.

Adanya perlindungan kepada manusia tersebut, bukan berarti manusia sakti mandraguna sehingga jin takut kepadanya, namun semata-mata karena keutamaan Allah Ta’ala dan rahmat-Nya yang diberikan kepada hamba-hamba yang dikasihi. Seandainya tidak demikian, maka: “tentulah kamu semua akan mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu)”. QS:4/83.

Apabila pelaksanaan ruqyah tersebut benar dapat mengeluarkan jin dari tubuh manusia, jika kita kaitkan dengan dalil-dalil dan argumentasi di atas, maka jin mana yang akan dikeluarkan oleh para peruqyah dari tubuh orang-orang yang mereka ruqyah …??? Jika memang benar ruqyah tersebut dapat mengeluarkan jin dari tubuh manusia, maka seharusnya orang yang kesurupan jin menjadi sadar, bukan sebaliknya. Padahal kenyataannya sebaliknya, orang yang asalnya sadar menjadi kesurupan jin, mereka berteriak-teriak seperti orang gila, bahkan ada yang sampai muntah di tempat, apakah perbuatan tersebut bisa dikatakan mengeluarkan jin…??? Dengan kenyatan demikian, berarti bisa diduga pelaksanaan ruqyah itu justru malah memasukkan jin ke dalam tubuh orang yang diruqyah, bukan mengeluarkan.
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali.

ALASAN 4, Mengapa Orang diRuqyah Kesurupan Jin ? Ancaman Yang Mengelilingi


Firman Allah SWT. Qur’an Surat al-A’rof/ayat 7/16-17.
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ(16)ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, – kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at). QS:7/16-17.

Oleh karena Iblis menolak perintah Allah Ta’ala sujud kepada Nabi Adam as, maka Iblis mendapat laknat, “Tersesat untuk selama-lamanya”. Iblis dengan seluruh kekuatan dan bala tentaranya kemudian menjawab hukuman tersebut dengan menyampaikan ancaman untuk Nabi Adam as. dan anak turunnya. Alloh mengabadikan ancaman tersebut dengan firman-Nya: “Saya benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, – kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at). QS:7/16-17)”.

Sejak saat itu genderang perang sudah ditabuh, sejak itupula perang telah terjadi dimana-mana bahkan sampai hari kiyamat nanti. Yang menjadi korban pertama adalah Nabi Adam as. Beliau diturunkan dari kemuliaan abadi di surga ke dalam lembah kehinaan di dunia. Allah Ta’ala juga telah memberi peringatan kepada anak manusia dengan firman-Nya:

يَابَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.QS:7/27.

Medan peperangannya berada di dalam rongga dada manusia. Tujuannya supaya manusia tidak mampu bersyukur kepada Allah Ta’ala, sehingga menjadi manusia yang kufur nikmat yang akhirnya akan hidup bersama-sama Iblis dan bala tentaranya di Neraka Jahannam untuk selama-lamanya. Wal’iyaadzu Billah.

Dalam mengantisipasi ancaman tersebut dan secara khusus dihubungkan dengan pelaksanaan Ruqyah, maka timbul dua pertanyaan:

1. Mengapa justru orang yang rajin beribadah yang mendapat perhatian serius dari ancaman setan Jin, bukan orang-orang yang sedang berbuat maksiat …?.
2. Bukankah yang dibaca dalam palaksanaan ruqyah itu adalah ayat-ayat yang telah dijaga oleh Allah Ta’ala dengan suatu pernyataan firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. QS:15/9.

Jawaban pertama: Karena orang yang rajin beribadah adalah orang yang berada di jalan lurus atau jalan menuju surga, maka mereka itulah musuh-musuh utama setan Jin. Terhadap ahli ibadah tersebut setan tidak menghalangi supaya mereka meninggalkan ibadahnya, karena hal tersebut merupakan pekerjaan yang berat, akan tetapi supaya tujuan ibadah itu berbelok arah, tidak menuju ke surga lagi melainkan menuju kehancuran manusia. Dengan ibadah yang dilakukan, tanpa disadari pelakunya digiring setan jin untuk memperturutkan hawa nafsunya hingga terjebak berbuat maksiat. Dalam arti tidak melaksanakan perwujudan rasa syukur atas kenikmatan, tetapi ibadah itu hanya dijadikan sarana untuk meminta dan menuntut saja. Itulah tugas utama setan jin sebagai tentara-tentara Iblis yang sangat setia, dalam urusan itu mereka sangat terlatih. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari kejahatan setan yang terkutuk.

Ketika ibadah dilakukan tanpa bimbingan guru ahlinya, maka kerapkali ibadah tersebut justru menjadi penyebab orang menjadi gila. Kalau bukan gila dalam arti kesurupan jin, ada gila yang lebih bahaya lagi dari itu, yakni gila dalam arti lupa diri atau gila hormat, gila pangkat, gila jabatan, gila dunia bahkan gila dipuji orang. Berangkat dari hal tersebut, supaya setan Jin dapat dengan mudah meracuni pola fikir serta merusak aqidah orang beriman, maka sasaran pertama yang dilakukan adalah merusak kesadaran manusia, melalui pilihan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, ketika orang-orang ramai-ramai di”Ruqyah” ternyata hasilnya malah kesadaran mereka menjadi hilang dan kesurupan jin, maka penulis menyimpulkan, perbuatan tersebut identik dengan perbuatan setan jin.

Jawaban Kedua:  Al-Qur’an al-Karim memang terjaga bahkan sepanjang masa, baik secara batin melalui sistem penjagaan rahasia maupun secara lahir oleh hamba-hamba Allah yang sholeh yang di dalam dadanya menjadi tempat simpanan al-Qur’an. Mereka itu adalah para huffadz dan hafidzoh yang mulia, yang selalu dengan tekun menjaga hafalannya dengan ihlas semata-mata melaksanakan bentuk pengabdian hakiki kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, bukan al-Qur’an yang harus dijaga, karena al-Qur’an sudah terjaga, melainkan orang-orang yang membacanya. Para pembaca al-Qur’an itu harus menjaga diri sendiri dari niat yang tidak benar, dari mengikuti kemauan nafsu syahwat terlebih dorongan hawa nafsu syaithoniah.
Apabila cara membaca itu hanya didorong oleh nafsu syahwat, maka bacaan itu tidak hanya dapat membantu makhluk jin menguasai kesadaran manusia saja, bahkan dapat menghancurkan langit dan bumi dan isinya. Allah Ta’ala telah menegaskan dengan firman-Nya:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andaikata kebenaran (Al-Qur’an) itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. QS:23/71.

Jadi, hilangnya kesadaran ketika orang diruqyah itu barangkali hanya tujuan awal supaya setelah itu setan jin dapat dengan mudah memancarkan perintah rahasia langsung di hati orang yang pernah kesurupan jin tersebut, agar setelah itu kehidupan orang tersebut rentan terkena gangguan setan jin baik fisik maupun pikiran hingga cenderung terlena dengan kehidupan duniawi yang memabukkan. Kita berlindung dari tipudaya setan yang terkutuk.

Mengapa semua itu bisa terjadi ?? Karena sesungguhnya aktifitas kehidupan jin sangat dekat dengan manusia. Bahkan urat darah manusia menjadi jalan jin menuju hati, dan lubang-lubang pada anggota tubuh manusia jadi tempat istirahat dan tempat tidur jin. Sebagian jin bahkan bermalam di lubang hidung di saat manusia sedang tidur. Rasulullah saw. telah mengabarkan dengan sabdanya:

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيَاشِيمِهِ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a berkata: Nabi s.a.w telah bersabda: Apabila seseorang dari kamu bangun dari tidur, hendaklah dia memasukkan air ke dalam hidung dan menghembusnya keluar sebanyak tiga kali karena sesungguhnya setan bermalam di dalam lubang hidungnya di saat manusia tidur .
•    Riwayat Bukhari di dalam Kitab Permulaan Kejadian hadits nomor 3052.
•    Riwayat Muslim di dalam Kitab Bersuci hadits nomor 351.
•    Riwayat Tirmidzi di dalam Kitab Bersuci hadist nomor 89.

Dan juga sabdanya:
حَدِيثُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ لِأَنْقَلِبَ فَقَامَ مَعِيَ لِيَقْلِبَنِي وَكَانَ مَسْكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَرًّا أَوْ قَالَ شَيْئًا
Diriwayatkan dari Sofiah binti Huyai r.a berkata: Pada suatu malam ketika Nabi s.a.w sedang beriktikaf aku datang menghampiri baginda. Setelah puas berbincang-bincang dengan baginda, akupun berdiri untuk pulang. Rasulullah s.a.w ikut berdiri untuk mengantarku. Tempat tinggal Sofiah adalah di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba datang dua orang Ansar. Ketika mereka melihat Nabi saw mereka mempercepatkan langkahnya. Lalu Nabi saw bersabda: Perlahankanlah langkahmu. Sesungguhnya ini adalah Sofiah binti Huyai. Kedua orang ansor itu berkata Maha suci Allah, wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia. Sebenarnya aku khawatir ada tuduhan buruk atau yang tidak baik dalam hati kamu berdua *
1.    Riwayat Bukhori di dalam Kitab I’tikaf hadits nomor 1894, 1897, 1898. – Etika hadits nomor 5751.
2.    Riwayat Muslim di dalam Kitab Salam hadits nomor 4041.
3.    Riwayat Abu Dawud di dalam Kitab Etika hadits nomor 4342.
4.    Riwayat Ibnu Majah di dalam Kitab Puasa hadits nomor 1769.

Ketika ada sekelompok orang membaca dan mendengarkan ayat al-Qur’an dengan hati lalai karena cenderung mengikuti kehendak nafsu sambil pikirannya menerawang Jin karena takut dalam tubuhnya ada jin, terlebih lagi ketika tujuannya terkontaminasi kepentingan duniawi, baik pribadi maupun golongan, bahkan dengan bangga dan merasa paling benar sendiri hingga tidak segan-segan menyirikkan dan membid’ahkan amalan orang lain, maka secara otomatis sekelompok jin mendapat fasilitas untuk menguasai kesadaran mereka. Jin para penjaga manusia itu saling berebut mendapatkan point untuk dibanggakan kepada pimpinan mereka. Maka yang semestinya di dalam kesempatan lain pekerjaan untuk menguasai kesadaran manusia itu sulit dilakukan, di dalam pelaksanaan “Ruqyah” malah mendapat kemudahan. Terbukti dengan demikian mudahnya jin mengusai kesadaran mereka, sehingga seketika itu juga Jin menjadikan para pendengar yang khusu’ tersebut bergelimpangan bagaikan orang kena sihir. Berteriak-teriak seperti orang gila…. bahkan ada yang terkencing-kencing di tempat.

Mengapa perkerjaan mengerikan dan menjijikkan seperti itu dengan bangga mereka katakan mengobati orang sakit..?? Apakah para pelaku ruqyah itu tidak mengerti bahwa setelah orang kesurupan jin itu bisa berakibat menjadi orang berpenyakitan … ?? Dimana logikanya orang yang asalnya sadar menjadi kesurupan jin dikatakan mengeluarkan jin dari tubuhnya …?? Barangkali perlu ada perenungan terhadap pelaksanaan ruqyah tersebut, sebelum lebih banyak lagi orang jadi korban dari akibat ketidaktahuan ini.
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali

Syarah Hikam Bab 9, MENUTUP DIRI AGAR TUMBUH KUAT


 

اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى اَرْضِ الخُمُوْلِ  فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَايَتِمُّ نَتَائِجُهُ.

 Tanamlah wujud dirimu di dalam tanah yang dalam, segala yang tumbuh dari yang tidak ditanam, pertumbuhannya tidak akan menjadi sempurna.

Allah berfirman:
 أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. (QS. ar-Ra’d; 13/17)

Dengan ayat di atas, Allah membuat perumpamaan terhadap ilmu pengetahuan dan pemahaman hati yang diturunkan-Nya di dalam dada seorang hamba. Bagaikan air hujan diturunkan dari langit memenuhi lembah-lembah, hati seorang hamba menampung ilmu dan pemahaman dari Allah sesuai kemampuan, seperti lembah-lembah di bumi menampung air hujan sesuai kadar ukurannya. Ilmu dan pemahaman itu di dalam jiwa seorang hamba akan menimbulkan arus atau reaksi, yakni gejolak di alam fikir untuk mencari kebenaran hakiki. Adapun yang di luar dada akan menimbulkan buih. Yaitu ingin dilihat dan ingin dipuji, merasa berjasa dan ingin diakui dan bahkan merasa benar sendiri. Seperti logam yang mereka lebur di dalam api untuk membuat perhiasan atau peralatan, di situ juga mengeluarkan buih. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batal.

Apa-apa yang kelihatan di permukaan dari amal yang dilakukan akan menjadi buih dan batil sedangkan gejolak ilmu pengetahuan yang ada di dalam alam fikir adalah benar. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, sedangkan pemahaman dalam hati, atau ma’rifat dengan Allah akan bermanfaat bagi manusia apabila keberadaannya tetap dirahasiakan di dalam hati. Oleh karena itu, tanamlah wijhahmu di dalam tanah yang dalam dan rahasiakan potensi-potensi kebaikan dari pengakuan basyariyah, bagaikan menanam benih, tanamlah seaman mungkin supaya tidak dimakan binatang liar sebelum tumbuh.

Kalau harus ada amal yang terpaksa dilihatkan kepada orang, maka yang kelihatan itu hanya sekedar buih, sebagai tanda-tanda bahwa di dalam sedang ada arus dan arus itu adalah proses pematangan iman dan keyakinan. Oleh karenanya, tampakkan yang tampak dan rahasiakan yang rahasia, dan masing-masing akan membawa manfat asal dapat terjaga dan terpelihara dengan semestinya. Namun demikian, seorang hamba tetap harus sadar, yang akan membawa manfaat hanya yang dirahasiakan. Karena segala yang tumbuh dari yang tidak ditanam pasti tidak akan dapat tumbuh secara sempurna.

Orang boleh menampakkan amalnya, tapi jangan berharap amal yang tampak itu membawa manfaat. Sebab, yang tampak itu telah menjadi buih yang kemudian akan segera hilang dengan tanpa membekas, bagaikan debu yang berterbangan dihembus angin. Angin itu boleh bermacam-macam wujudnya, ada yang disebut riya’, ada yang disebut menyebut-nyebut kembali, berbangga-banggaan, sombong dan lain sebagainya.

Hati manusia tidak selalu mampu diam ketika kebaikannya dilihat orang. Hati cenderung ingin berbicara, karena sekarang ia sedang berbuat kebaikan, maka hati sering berkata sendirian: “Lihatlah, aku saat ini memang pantas dipuji, paling tidak harus diakui, aku telah berbuat untuk menolongmu, aku telah berjasa, seandainya tidak ada aku, siapa yang menolongmu? Oleh karena itu, apabila tidak ada yang memperhatikan amalnya, terlebih ketika kebaikannya tidak diterima dengan baik di hati orang, maka jadi kecewa dan marah.

Berdamai dengan diri sendiri, baik menghadapi senang maupun susah, memutus tali sandaran hati kepada selain yang menghidupi, baik sedang longgar maupun sempit, menanam hasrat, memendam keinginan, tenggelam dalam rasa kearifan samudera kehidupan yang tidak terbatas sampai hilang wajah dan muncul wajah lagi, ketika wajah bulan meredup maka segera sinar mentari membuka kehidupan.

Sungguh yang rapuh bukan amal yang kelihatan, tapi hati yang ingin dipuji dan diakui. Oleh karena hati telah menonjolkan diri, maka menjadi ringkih. Bagaikan benih padi ketika ditanam di tanah padas, walau setiap hari disiram dengan air hujan, tetap saja padi tersebut tidak akan tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya biarkanlah yang kelihatan menjadi hilang, asal di dalamnya masih ada yang tersimpan, yaitu kasih sayang yang dibungkus dengan amal perbuatan.

Oleh Muhammad Luthfi Ghozali

Syarah Hikam Bab 7, TERBUKANYA MATAHATI UNTUK MENERIMA MA’RIFATULLAH



 

اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَلِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ  اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَالأَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ , وَاَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ


Apabila Allah berkehendak membukakan wijhah hatimu untuk menerima ma’rifat, maka tidak peduli lagi walau amalmu sedikit, karena sesungguhnya apabila Allah telah membukanya semata-mata karena Allah berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepadamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya ma’rifat itu didatangkan untukmu dan amalmu adalah bentuk persembahan untuk-Nya, maka mana yang lebih tinggi nilainya bagimu, apa yang datang darimu atau apa yang didatangkan kepadamu?.

Wijhah adalah buah ibadah seorang hamba.  Meski buah ibadah, wijhah semata hanya didatangkan Allah atas kehendak-Nya dan kepada yang dikehendaki-Nya, bukan sebab ilmu dan amal seorang hamba. Dengan wijhah seorang hamba dapat melaksanakan tawajjuh (menghadap dan wushul) kepadaNya hingga doa-doa dan permohonannya mendapatkan ijabah dari-Nya :

Allah Swt berfirman:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Sesungguhnya aku menghadapkan hadapanku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan tidak menoleh kepada yang selain-Nya (hanifa) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan". (QS. al-An’am; 6/79)

Dengan wijhah seorang hamba akan mendapatkan kemuliaan dan kedekatan di sisi Tuhannya: “Seorang terkemuka (mempunyai wijhah) di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran; 45). Apabila pintu wijhah dalam hati sudah dibuka atau seorang hamba telah mendapatkan futuh ( terbukanya matahati), maka orang tersebut akan ber-ma’rifat dengan-Nya.

Ma’rifat artinya mengenal dan yang dimaksud adalah mengenal Allah Swt. (ma’rifatullah). Orang yang ma’rifatullah adalah orang yang kenal kepada Allah. Kenal nama-namaNya, sifat-sifatNya, kenal kepada kekuasaan dan pengaturan-Nya, kenal akhlak dan perbuatan-Nya. Mengenal baik secara rasional (teori ilmiah) maupun spiritual (perasaan dalam hati). Namun yang dimaksud ma’rifatullah dominan kepada kenal secara spiritualitas.

Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba yang bertakwa kepada Tuhannya. Seorang hamba yang ma’rifat adalah seorang hamba sanggup berbuat benar dan tidak salah di hadapan Tuhannya. Karena ia tahu apa yang dikehendaki oleh Tuhannya untuk dirinya.

Semakin seorang hamba ber-ma’rifat kepada-Nya berarti menjadi semakin mencintai-Nya karena semakin mengenali dan merasakan kebaikan dan kasih sayang Allah kepada dirinya: “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS. Al- Qoshosh; 77)

Semakin seorang hamba mencintai Tuhannya berarti semakin mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki. Karena hanya kepada yang dicintai, orang akan mampu melaksanakan pengabdian dengan benar. Ketika semakin mampu melaksanakan pengabdian hakiki berarti derajatnya di sisi Allah akan menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu, orang yang paling ber-ma’rifat dan paling bertakwa dan paling mulia di sisi Allah adalah Rasulullah Saw. karena Beliaulah orang paling mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya.

Untuk mencapai ma’rifatullah. Secara teori, seorang salik akan diperjalankan oleh tarbiyah Allah dengan dua cara:

1.   Kehendak dari atas ke bawah. Artinya, semata-mata atas kehendaknya, wijhah dalam hati—yang asalnya tertutup—dibuka oleh Allah. Hijab-hijab manusiawi yang menyelimuti matahati dihapuskan. Penutup pintu rahasia ketuhanan dibukakan. Seperti orang menyalakan lampu, yang asalnya gelap menjadi terang, yang asalnya tidak kenal menjadi kenal. Bagaikan mendung ketika sirna, matahari seakan berada di atas kepala. Karena Allah memang berkehendak mengenalkan diri kepada hamba-Nya, tidak dengan sebab yang lain, tidak dengan sebab amal ibadah yang sudah dikerjakan. Seorang hamba menjadi mengenal kepada-Nya semata-mata karena Allah adalah Dzat Yang Maujud;
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
 “Katakanlah : "Allah-lah” kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.(QS. al-An’am; 6/91).

2.     Kehendak dari bawah kemudian ke atas. Artinya proses datangnya ma’rifatullah itu, terlebih dahulu seorang salik dikenalkan kepada makhluk-makhluk-Nya baru kemudian dikenalkan kepada Al-Khalik (penciptanya), Sebagaimana firman-Nya:

 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2; 164)

Pengenalan seorang hamba kepada Sang Pencipta langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar serta kemanfaatan-kemanfaatan yang dapat dimanfaatkan bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.

Perhatian dan penelitian seorang hamba terhadap semua itu menghasilkan suatu kesimpulan, betapa Allah telah banyak berbuat baik kepada manusia, namun betapa pula banyak manusia yang tidak mengetahui, tidak menyadari bahkan ingkar dan kafir kapada-Nya. Hal tersebut menjadikan tumbuhnya rasa cinta yang mendalam kepada-Nya hingga mendorongnya untuk bertaubat dengan taubatan nasuha dan meningkatkan pengabdian kepada-Nya.

Ma’rifat pertama adalah ma’rifat yang langsung memancar dari hati dan ruh (rasa/spiritual) yang kemudian dipancarkan di dalam akal dan fikir (rasional ilmiah), hingga dapat teraktualisasikan melalui akhlak dan perbuatan. Karena seorang hamba telah terlebih dahulu dicintai Allah kemudian ia mencintainya. Ma’rifat pertama ini jauh lebih kuat dibandingkan ma’rifat yang kedua karena lebih hakiki. 

Ma’rifat yang kedua sesungguhnya ma’rifat hati (spiritualitas) juga, namun masuknya terlebih dahulu melalui akal dan fikir (rasionalitas). Pengenalan seorang hamba kepada kejadian-kejadian yang ada di bumi dan yang ada di langit menjadikannya mengenal kepada Sang Pencipta. Seperti orang mengenal tulis, akhirnya ingin mengenali penulisnya.

Meskipun jalan masuknya ma’rifat yang kedua ini melalui akal dan fikiran atau rasionalitas ke dalam rasa atau spiritualitas, namun demikian ketika sudah menduduki hati, masuknya ma’rifat hati tersebut semata-mata hanya atas kehendak Allah juga. Hanya saja kehendak yang terakhir itu didahului oleh kehendak-kehendak yang sebelumnya, sebagai proses untuk terjadinya hukum sebab dan akibat hingga seorang salik mendapatkan buah yang dipetik dari amal ibadah yang sudah dilakukan.

Masuknya ma’rifat hati itu bukan disebabkan adanya amal ibadah yang dilakukan, akan tetapi amal ibadah itulah yang dijadikan sebab untuk terpenuhi suatu proses pematangan ilmu dan amal hingga akhirnya sampai kepada akibat yang baik, yaitu pendewasaan akhlak mulia.

Amal ibadah adalah persembahan seorang hamba kepada Tuhannya sedangkan ma’rifat adalah pemberian dari-Nya, mana yang lebih tinggi nilainya? Oleh karenanya, apabila Allah berkehendak membukakan pintu wijhah hati seorang hamba untuk menerima Nur Ma’rifat, Allah tidak perduli walau hamba-Nya sedang lemah dan sedang sedikit amal ibadahnya.
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali

Syarah Hikam Bab 8, JENIS AMAL MENENTUKAN JENIS WARID





تَنَوَّعَتْ اَجْنَاسُ الأَعْمَالِ لِتَنَوُّعِ وَارِدَاتِ الأَحْوَالِ, الأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَاَرْوَاحُهاَ وُجُوْدُ سِرِّ الاِخْلَاصِ فِيْهَا

Beraneka macamnya jenis amal supaya terjadi beraneka macamnya jenis warid yang masuk (dalam hati), maka beberapa amal adalah yang membentuk keadaan dan ruhnya adalah adanya ikhlas yang dirahasiakan dalam amal.

Warid adalah buah wirid. Jika wirid ibarat menanam pohon, maka warid adalah buah yang bisa dipetik dari pohon tersebut. Seperti orang menanam mangga misalnya, orang tersebut tidak mungkin dapat menuai buah nanas atau buah yang lainnya. Bahkan dengan jenis bibit mangga tertentu, sampai kapanpun orang tersebut akan menuai buah mangga sejenisnya, tidak bisa menuai jenis mangga yang berbeda. Kalau ada rasa yang berbeda, itu semata karena beda jenis tanah dan musimnya, tapi jenis buahnya tetap sama. Jika sifat menanam bibit di tanah bumi seperti itu keadaannya, maka menanam bibit di tanah hati seorang salik juga demikian.

Dengan wirid jenis amal tertentu, salik akan mendapatkan jenis warid tertentu pula. Kalau ada hasil warid yang beda kuwalitas, itu disebabkan karena beda kuwalitas hati dan niat pelakunya. Orang wirid manaqib misalnya, dia akan mendapatkan warid dari SIRRnya manaqib, orang wirid maulid akan mendapatkan warid dari SIRRnya maulid, masing-masing salik akan mendapatkan jenis warid sesuai dengan jenis wirid yang dilakukan, kalau ada beda kuwalitas warid padahal orang melakukan wirid yang sama, itu karena beda kuwalitas manusia dan hatinya.

Allah adalah Dzat Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Meskipun demikian, jalan masuk menuju terbukanya pintu wijhah dalam hati seorang hamba untuk mendapatkan ma’rifatullah banyak pilihan. Melalui sembilan puluh sembilan nama-nama-Nya, seorang salik mampu mempergunakannya sebagai landasan wirid guna mendapatkan warid dari-Nya. Dengan landasan Nama-Nama tersebut, akan menimbulkan nuansa dan rasa yang khusus di dalam hati pengendaranya. Dengan wirid Ar-Rohman misalnya salik bisa mendapatkan warid rasa welas kepada manusia dan dengan Al-Jabbar, salik bisa mendapatkan warid perkasa dalam hatinya.

Hati manusia hanya satu, berada di dalam rongga yang satu, secara khusus juga hanya mampu menerima warid yang satu. Namun demikian, yang satu itu boleh dimasuki dengan jenis wirid dengan banyak pilihan, namun akhirnya warid yang masuk secara khusus hanya satu, yaitu yang menyatu dengan Yang Satu.

Adapun pilihan amal, bagaikan pilihan kendaraan yang akan dinaiki hati menuju Yang Satu. Tinggal hati memilih amal mana yang dapat bersesuaian dengan kondisi hatinya. Oleh karena itu, shalat, zakat, puasa dan haji adalah bagaikan kendaraan yang dikendarai hati untuk menuju keharibaan-Nya. Memasuki istana-Nya, mendengarkan musik-Nya, makan buah-buahan-Nya, minum arak dan air susu-Nya.

Masing-masing kendaraan dengan kondisi yang serasi akan menghantarkan hati merasakan kenikmatan hakiki, manakala perjalanan salik benar-benar sampai (wushul) kepada Yang Satu secara hakiki. Itulah kenikmatan berinteraksi dan berkomunikasi secara pribadi dengan Kekasih yang dirindui.

Seorang hamba boleh memilih diantara kendaraan yang tersedia tersebut, mencicipi secara bergantian untuk menentukan mana yang paling cocok bagi keadaan hati, asal harus sadar, masing-masing kendaraan, untuk dapat mengantarkan perjalanan sampai kepada tujuan, haruslah hanya dengan berlandasan satu, yaitu rahasia keikhlasan hati dalam beramal, karena kekhususan amal akan membentuk kekhususan warid sedangkan rahasia keikhlasan hati, adalah ruh yang menghidupkan amal.

Jadi, memilih jalan mengabdi kepada Allah itu boleh dengan berbagai pilihan, boleh dengan shalat, puasa, haji, shadaqah, dzikir dan perjuangan serta pengabdian. Jika semua itu dilaksanakan dengan landasan hati ikhlas, masing-masing kendaraan akan menumbuhkan keyakinan, meski jenis keyakinan itu bisa berbeda. Keyakinan hati itu menurut istilah sufi dinamakan khususiyah. Oleh karenanya, setiap hamba yang sholeh atau para waliyullah pasti mempunyai khususiah yang berbeda dengan yang lainnya.

Jadi, orang berthorioqh hanya boleh mengikuti satu jalan, mengikuti satu guru Mursyid yang dicocoki hati dan perasan, tidak boleh mengikuti thoriqoh dan guru mursyid lebih dari satu, karena dengan thoriqoh lebih dari satu, mustahil salik bisa mendapatkan warid dari wirid yang dilakukan. Oleh karena yang dituju hanya satu maka mustahil orang bisa mencapainya dengan jalan lebih dari satu :

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS.Al-Anbiya’/22)


Oleh Muhammad Luthfi Ghozali.

ALASAN 3, Mengapa Orang diRuqyah Kesurupan Jin ?, SIHIR JIN YANG DITIUPKAN


Firman Allah Ta’ala Qur’an Surat al-Hijr/ayat 15/42. Qur’an Surat Shod/ayat 82/85. Qur’an Surat an-Nahl/ ayat 16/100
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat”. QS:15/42.

Jika yang diklem sebagai Ruqyah itu termasuk katagori ibadah yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah, bukan mengikuti langkah setan hingga pelakunya jadi sesat dan bukan pula perbuatan syirik, maka dengan pernyataan firman Allah Ta’ala di atas, seharusnya wilayah kesadaran orang yang mendengarkan ayat-ayat suci itu tidak dapat ditembus oleh kekuatan jin yang manapun meski hanya untuk menguasai sesaat. Namun kenyatannya tidak demikian, orang yang diruqyah itu sedemikian mudah kesurupan jin. Maka barangkali bacaan ayat-ayat yang dibacakan dalam pelaksanaan “Ruqyah” itu sudah disusupi sihir setan Jin. Jika memang demikian, maka para pelaku ruqyah tersebut tidak ubahnya seperti “tukang sihir” yang membaca mantra hingga seketika pendengarnya bergelimpangan kesurupan jin.
Bukankah permainan kuda lumping keadaannya juga seperti itu..?. setelah pimpinannya membaca mantra seketika para pemainnya kesurupan jin hingga makan beling? Namun ada yang berbeda sedikit, jika kuda lumping tontonan yang mengasyikkan, “Ruqyah” tontonan yang mengerikan dan menjijikkan.

Di dalam firman-Nya yang lain Allah Ta’ala telah menegaskan pula. Allah SWT. berfirman:
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ(82)إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِين َ
Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, – kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. QS:82/85.

Iblis bersumpah di hadapan Allah Ta’ala akan menyesatkan seluruh anak Adam kecuali hamba-hamba Allah yang hatinya ikhlas. Terhadap hamba Allah yang ihlas itu sedikitpun setan Jin tidak dapat menembus benteng pertahanan yang melindungi mereka. Demikian yang dinyatakan Iblis sendiri di hadapan Allah Ta’ala yang telah diabadikan-Nya dengan firman-Nya di atas. Artinya, yang menunjukkan kehebatan dari suatu pelaksanaan amal ibadah, manakala mendapat perlindungan Allah Ta’ala dari kekuatan setan Jin, tidak malah sebaliknya.

Lebih tegas lagi Allah Ta’ala menyatakan dengan firman-Nya:
إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin (beryatawalla) dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah QS:16/100.

Penegasan Allah Ta’ala itu artinya : bahwa hanya kepada sekelompok orang yang telah mengambil setan Jin sebagai wasilah atau jalan untuk mendekat (beryatawalla) dan orang-orang yang telah berbuat syirik saja, setan Jin dapat memperdaya hingga kesadaran mereka dapat dikuasai walau hanya sebentar.

Firman Allah Ta’ala يَتَوَلَّوْنَهُ . “Yatawalla” artinya berwasilah kepadanya. Apabila hal tersebut dipraktekkan dalam amal ibadah maka yang dimaksud yatawalla adalah tawassul. Untuk tujuan inilah orang berthoriqoh bertawassul kepada Rasulullah saw. melalui tawassul kepada guru mursyidnya. Hal tersebut dilakukan supaya dapat terjadi hubungan ruhaniyah secara berkesinambungan antara murid dengan gurunya sampai kepada Rasulullah saw.

Barangkali seperti keadaan inilah apa yang terjadi dalam pelaksanaan “Ruqyah” tersebut, ketika orang-orang yang mendengarkan ayat-ayat suci al-Qur’an al-Karim itu sambil pikirannya menerawang Jin – apakah di dalam tubuhnya ada jin atau tidak – sambil memaksakan diri untuk berbuat khusu’, tanpa disadari ternyata justru mereka itu sedang menerapkan pelaksanaan ayat tersebut yakni bertawasul kepada setan Jin, maka pantas saja, hingga sedemikian mudahnya orang yang diruqyah itu kesurupan Jin.

Sesungguhnya perbuatan tersebut hakikatnya adalah syirik di dalam amal “asy Syirku Fil Amali”. Dan itu  identik dengan perbuatan Jin yang memang selalu bersyirik ria dengan manusia sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Ta’ala dengan firman-Nya:
وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَولَادِ
“Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak”. QS:17/64.

Yang pasti, hendaklah manusia selalu waspada dan berhati-hati ketika perbuatannya nyata-nyata bersingguan dengan dimensi jin, seperti amalan yang mereka katakan ruqyah tersebut, apabila Allah Ta’ala tidak melindungi hamba-Nya maka pasti tidak seorangpun dapat selamat dari tipu daya setan jin, dengan hanya satu alasan saja; “Karena jin dapat melihat manusia, manusia tidak dapat melihat Jin”.
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali.

Advertise