MELIHAT JIN DAN MALAIKAT ?
Jin dan malaikat, sebenarnya bukan makhluk ghaib, melainkan makhluk
halus. Mereka itu adalah makhluk fisik juga, seperti manusia, bukan makhluk metafisika,
namun fisiknya berbeda dengan fisik manusia. Asal kejadian fisik jin diciptakan
dari api, sedangkan fisik malaikat diciptakan dari cahaya. Sebagaimana manusia
yang asal kejadiannya diciptakan dari tanah, bentuk kejadian selanjutnya
tidaklah menjadi tanah lagi, melainkan terdiri dari tulang dan daging, maka
demikian juga yang terjadi terhadap makhluk jin dan malaikat.
Meskipun fisik jin diciptakan dari api dan malaikat diciptakan dari
cahaya, kejadian selanjutnya tidaklah api dan cahaya lagi, tapi dalam bentuk
fisik tertentu yang oleh Allah s.w.t telah ditetapkan tidak bisa dilihat atau dirasakan
dengan indera mata manusia. Bentuk fisik jin dan malaikat itu bisa dirasakan
oleh manusia dengan indera yang lain selain indera mata. Indera tersebut bisa
disebut dengan nama atau istilah apa saja, indera keenam misalnya, atau dengan
istilah-istilah atau nama – nama yang lain.
Seperti suara misalnya, suara ditetapkan oleh Allah s.w.t tidak bisa
dirasakan oleh hidung, tapi didengar oleh telinga, maka telinga atau hidung itu
hanyalah istilah-istilah yang ditetapkan bagi alat perasa yang dimaksud supaya
manusia dapat dengan mudah memahami atau mengenal terhadap alat perasa
tersebut. Allah s.w.t berfirman:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ
حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
“Sesungguhnya ia (setan jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu, dari
dimensi yang kamu tidak bisa melihatnya “. (QS. 7; 27)
Bukan berarti manusia tidak dapat mengobservasi atau berinteraksi dengan
jin karena jin berada pada dimensi di atas manusia sebagaimana yang banyak
difahami beberapa kalangan ilmiyah, akan tetapi untuk mengobserfasi atau
berinteraksi dengan jin itu, manusia tidak bisa mempergunakan indera
mata atau indera lahir melainkan harus dengan menggunakan indera batin atau yang disebut bashiroh. Sebagaimana manusia berinteraksi dengan suara tidak bisa mempergunakan
indera hidung, akan tetapi harus mempergunakan alat perasa yang lain yang disebut telingah.
Allah s.w.t menghendaki manusia tidak dapat melihat jin dengan mata
lahir, melainkan dengan mata batin atau yang disebut bashiroh. Ketika mata
batin manusia tidak dapat merasakan keberadaan jin, itu disebabkan karena mata
batinnya sedang ditutupi oleh hijab-hijab basyariah. Ketika penutup mata batin
itu dibuka, maka penglihatan batin manusia menjadi tajam. Artinya mempunyai
kekuatan untuk tembus pandang sehingga saat itu manusia dapat merasakan
alam-alam yang ada di sekitarnya. Allah s.w.t telah menegaskan hal itu dengan
firman-Nya:
فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ
الْيَوْمَ حَدِيدٌ
“Maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu menjadi amat tajam “. (QS.Qaaf.;
50/22).
Istilah yang dipergunakan Allah s.w.t untuk membuka penutup penglihatan
manusia di dalam ayat di atas adalah firman-Nya: فكشفنا
عنك غطاءك “Fakasyafnaa ‘anka ghithooaka” Kami singkapkan
darimu penutup matamu, atau penutupnya dihilangi, atau hijabnya dibuka. Jadi, ketika
manusia tidak dapat berinteraksi dengan dimensi yang lain berarti karena
penglihatannya sedang ada penutup dan ketika penutup itu dibuka, maka
penglihatannya menjadi tajam atau tembus pandang. Ini adalah rahasia besar yang
telah menguak sebuah misteri tentang alam-alam yang ada di sekitar alam
manusia.
MUJAHADAH DI JALAN ALLOH
Upaya untuk menjadikan matahati menjadi tembus pandang supaya kemudian
mampu berinteraksi dengan dimensi yang lain,—dengan istilah melihat jin
misalnya, satu-satunya jalan hanya dengan mengikuti tata cara yang berkaitan
dengan istilah di atas. Yakni dengan jalan melaksanakan mujahadah di jalan
Allah. Sebagaimana yang telah disampaikan Allah s.w.t dalam firman-Nya di atas,
QS. 29/69 yang artinya: “Dan orang-orang yang bermujahadah di jalan Kami,
benar-benar akan Kami tunjuki kepada mereka jalan-jalan Kami”.( QS. 29; 69),
terbukti orang yang punya ilmu dan menerapkan ilmunya dengan melakukan amal
sholeh dan mujahadah di jalan Allah seringkali lebih mendapatkan
kelebihan/liwuweh dibandingkan orang yang hanya memiliki ilmu saja.
Allah s.w.t yang menciptakan Hukum Alam, maka hanya Allah s.w.t yang berhak
merubahnya. Apabila seorang hamba menginginkan adanya perubahan terhadap
hukum-hukum tersebut, maka tidak ada cara lain orang tersebut harus tunduk dan
mengikuti hukum-hukum yang sudah ditetapkan pula, meskipun perubahan yang
dimaksudkan juga sesungguhnya termasuk sunnah yang sudah ditetapkan pula.
“Mujahadah di jalan Allah”, adalah istilah untuk menyebutkan sesuatu
yang dimaksud. Atau nama dari suatu tata cara untuk mendapatkan petunjuk dari
Allah s.w.t. Supaya dengan itu penutup matahati manusia dibuka sehingga
penglihatannya menjadi tajam. Sedangkan hakekat mujahadah sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah s.w.t, hanya Allah s.w.t yang mengetahuinya. Oleh karena
itu, kewajiban seorang hamba yang menginginkan terjadinya perubahan-perubahan
atas dirinya supaya usahanya dapat berhasil dengan baik, maka terlebih dahulu
dia harus mengetahui dan mengenal dengan benar terhadap apa yang dimaksud
dengan istilah mujahadah itu.
Oleh karena yang dimaksudkan dengan mujahadah tersebut tidak hanya
berkaitan dengan aspek ilmu pengetahuan saja, melainkan juga amal atau
pekerjaan, bahkan mujahadah adalah ibarat kendaraan yang akan dikendarai untuk
menyampaikan seseorang kepada tujuan, maka cara mengenalinya, terlebih cara
mengendarainya, seorang Salik harus melalukannya melalui tahapan praktek dan
latihan yang semestinya. Untuk kebutuhan inilah—seorang hamba yang akan
melaksanakan mujahadah di jalan Allah harus mendapatkan bimbingan dari seorang
guru ahlinya, inilah yang dimaksud dengan ungkapan Ulama : “Barangsiapa beramal
tanpa guru maka gurunya adalah setan”. (bersambung)
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami