
Teman-teman seperjalanan yang dirahmati Alloh,
Berikut ini kisah karomah Sulthonul Auliya Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilany RA. Coba kita cari sesuatu yang bisa kita ambil sebagai bahan diskusi kita. Anda bisa bertanya dan juga menjawab, sang moderator bila perlu duduk manis aja…
Khusus bagi teman-teman yang terkadang masih kurang memahami prihal
karomah para Waliyulloh sehingga sempat salah sangka kepada amaliyah
sesama orang beriman, bahkan mensyirikkan orang yang berziarah ke maqom
para Waliyulloh, marilah kita mencoba mencari pemahaman dari sesama kita
yang ada disini. Dengan niat yang baik kita bisa sharing dalam forum
diskusi yang baik, barangkali dengan itu kita mendapatkan petunjuk dari
Alloh untuk menerima keutamaan yang dianugerahkan Alloh kepada
hamba-hamba pilihan-Nya.
1. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di tahun 537 Hijrah, seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh sesetengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) datang bertemu asy-Syaikh Jilani, dan berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh seorang jin.
Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian,
gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat
garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir
Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh
beberapa kumpulan jin, dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah
engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja
jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu.
Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu
dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah
menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat tersebut dan melaksanakan arahan
asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani itu. Beberapa saat kemudian datanglah
jin-jin yang mencoba menakut-nakuti, tetapi jin-jin itu tidak kuasa
melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang bergantian, kelompok
demi kelompok. Dan akhirnya, datanglah raja jin yang sedang menunggang
seekor kuda beserta satu angkatan yang besar dan hebat.
Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan
bertanya: “Wahai manusia, apakah hajatmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku
telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu
denganmu.”
Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan,
serta merta raja jin itu turun dari kudanya dan terus mencium bumi. Raja
jin itu kemudian duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota
rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki
itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang diculik oleh
seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun
memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu
kemudian, dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara
Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.
Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau sambar anak dara
manusia ini? Tidakkah engkau tahu, dia ini berada di bawah naungan
al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu dikenakan hukuman pancung kepala.
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu dikenakan hukuman pancung kepala.
Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul
Qodir Al-Jilani bisa melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang
jahat. Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas
bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah
menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat
manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”
2. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, istri-istri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bertemu dengannya dan berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai
isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini
keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh
makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap
anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar
anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukan karena aku takut digigit,
tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu
dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas
kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus
Allah sebagai rahmat untuk sekelian alam?”
Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda
mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai
kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak
menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah
meninggal ini?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku
yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa
telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi
aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua
telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia.
Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain.
Allah telah berfirman (Surat al-adid, ayat 20) “dan tiadaklah kehidupan
dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah
satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena –
aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang
berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun
aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang
bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada
masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran
melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun
sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
3. Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.
Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.
Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk
khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul
Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku. Tiba-tiba, aku
terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar
dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu,
takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan
kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan
memuncak.
Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas
mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus
memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya.
Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu
lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang
mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa
kehadiran seorang manusia.
Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu. Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.
Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam
perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku
kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi
tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat
kunci yang baru.
Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan
rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah
melewati satu lembah yang sangat indah. Seolah-olah ada satu kuasa ajaib
yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku
teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa
hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang
mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya
telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
4. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.
Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan
berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang
terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”
Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir
al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin
(yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu
yang engkau miliki lebih luas daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini
jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi
pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan
Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau.
Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada
Allah, Pengatur sekelian alam.”
(Malfiali, Maret 2009. Diambil dari
beberapa sumber)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami