اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى اَرْضِ الخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَايَتِمُّ نَتَائِجُهُ.
Tanamlah wujud dirimu di dalam tanah yang dalam,
segala yang tumbuh dari yang tidak ditanam, pertumbuhannya tidak akan menjadi
sempurna.
Allah berfirman:
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا
وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ
زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا
الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ
كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Allah telah menurunkan air (hujan)
dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus
itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam
api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah
Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat
kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan”. (QS. ar-Ra’d;
13/17)
Dengan ayat di atas, Allah membuat
perumpamaan terhadap ilmu pengetahuan dan pemahaman hati yang diturunkan-Nya di
dalam dada seorang hamba. Bagaikan air hujan diturunkan dari langit memenuhi
lembah-lembah, hati seorang hamba menampung ilmu dan pemahaman dari Allah sesuai
kemampuan, seperti lembah-lembah di bumi menampung air hujan sesuai kadar ukurannya.
Ilmu dan pemahaman itu di dalam jiwa seorang hamba akan menimbulkan arus atau
reaksi, yakni gejolak di alam fikir untuk mencari kebenaran hakiki. Adapun yang
di luar dada akan menimbulkan buih. Yaitu ingin dilihat dan ingin dipuji,
merasa berjasa dan ingin diakui dan bahkan merasa benar sendiri. Seperti logam
yang mereka lebur di dalam api untuk membuat perhiasan atau peralatan, di situ juga
mengeluarkan buih. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan
yang batal.
Apa-apa
yang kelihatan di permukaan dari amal yang dilakukan akan menjadi buih dan batil
sedangkan gejolak ilmu pengetahuan yang ada di dalam alam fikir adalah benar.
Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, sedangkan
pemahaman dalam hati, atau ma’rifat
dengan Allah akan bermanfaat bagi manusia apabila keberadaannya tetap
dirahasiakan di dalam hati. Oleh karena itu, tanamlah wijhahmu di dalam tanah
yang dalam dan rahasiakan potensi-potensi kebaikan dari pengakuan basyariyah,
bagaikan menanam benih, tanamlah seaman mungkin supaya tidak dimakan
binatang liar sebelum tumbuh.
Kalau harus ada amal yang
terpaksa dilihatkan kepada orang, maka yang kelihatan itu hanya sekedar buih,
sebagai tanda-tanda bahwa di dalam sedang ada arus dan arus itu adalah proses
pematangan iman dan keyakinan. Oleh karenanya, tampakkan
yang tampak dan rahasiakan yang rahasia, dan masing-masing akan membawa manfat asal
dapat terjaga dan terpelihara dengan semestinya. Namun demikian, seorang hamba
tetap harus sadar, yang akan membawa manfaat hanya yang dirahasiakan. Karena
segala yang tumbuh dari yang tidak ditanam pasti tidak akan dapat tumbuh secara
sempurna.
Orang boleh menampakkan amalnya, tapi
jangan berharap amal yang tampak itu membawa manfaat. Sebab, yang tampak itu
telah menjadi buih yang kemudian akan segera hilang dengan tanpa membekas,
bagaikan debu yang berterbangan dihembus angin. Angin itu boleh bermacam-macam
wujudnya, ada yang disebut riya’, ada yang disebut menyebut-nyebut kembali,
berbangga-banggaan, sombong dan lain sebagainya.
Hati manusia tidak selalu mampu diam
ketika kebaikannya dilihat orang. Hati cenderung ingin berbicara, karena
sekarang ia sedang berbuat kebaikan, maka hati sering berkata sendirian:
“Lihatlah, aku saat ini memang pantas dipuji, paling tidak harus diakui, aku
telah berbuat untuk menolongmu, aku telah berjasa, seandainya tidak ada aku,
siapa yang menolongmu? Oleh karena itu, apabila tidak ada yang memperhatikan
amalnya, terlebih ketika kebaikannya tidak diterima dengan baik di hati orang, maka
jadi kecewa dan marah.
Berdamai dengan diri sendiri, baik menghadapi
senang maupun susah, memutus tali sandaran hati kepada selain yang menghidupi,
baik sedang longgar maupun sempit, menanam hasrat, memendam keinginan, tenggelam
dalam rasa kearifan samudera kehidupan yang tidak terbatas sampai hilang wajah dan
muncul wajah lagi, ketika wajah bulan meredup maka segera sinar mentari membuka
kehidupan.
Sungguh yang rapuh bukan
amal yang kelihatan, tapi hati yang ingin dipuji dan diakui. Oleh karena hati
telah menonjolkan diri, maka menjadi ringkih. Bagaikan benih padi ketika
ditanam di tanah padas, walau setiap hari disiram dengan air hujan, tetap saja padi
tersebut tidak akan tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya biarkanlah yang
kelihatan menjadi hilang, asal di dalamnya masih ada yang tersimpan, yaitu
kasih sayang yang dibungkus dengan amal perbuatan.
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami