اِجْتِهَادُكَ
فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَتَقْصِيْرِكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى
اِنْطِمَاسِ البَصِيْرَةِ مِنْكَ
“Kesungguhan dalam
mengusahakan sesuatu yang sudah terjamin bagimu dan keteledoran dalam menjaga
apa yang diwajibkan bagimu, menunjukkan tanda-tanda bahwa mata hatimu dalam
keadaan tertutup”.
Sungguh seluruh makhluk baik yang di
langit maupun di bumi hanya tercipta untuk manusia bukan sebaliknya. Artinya
hikmah penciptaan Alam dan isinya hanya diperuntukkan bagi kebutuhan hidup
manusia: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. al-Jatsiyah; 13)
Manusia bukan diciptakan untuk malaikat
dan jin tapi malaikat dan jinlah diciptakan untuk manusia. Nabi Muhammad Saw
bukan diciptakan untuk melayani malaikat Jibril, tapi sebaliknya malaikat
Jibril tercipta untuk melayani Nabi Muhammad Saw. Terlebih lagi makhluk yang
ada di muka bumi, sungguh mereka semua tercipta hanya untuk kebutuhan hidup
manusia, bukan sebaliknya. Di udara dengan aneka macam burung-burung dan di
bumi dengan tumbuhan dan hewan, demikian juga di laut dengan ikan-ikannya.
Semua itu ditebarkan dengan melimpah ruah hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia.
Kalau seluruh makhluk tercipta untuk
manusia maka manusia sesungguhnya hanya tercipta untuk mengabdi kepada Allah
Swt: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat; 56) Artinya, dengan rizki-rizki yang
sudah dikuasai, bagaimana manusia dapat mempergunakannya untuk mengabdi kepada
Allah Swt.
Tiga Jenis Rizki dan Tiga Jenis
Kebutuhan Hidup
Secara umum rizki yang disediakan Allah
bagi manusia ada tiga macam:
1. Rizki yang dijamin. Rizki yang dijamin ini bukan hanya untuk
manusia saja, namun juga seluruh makhluk yang ada. Yaitu rizki-rizki yang sudah
tersedia dan ditebarkan Allah di muka bumi, meski cara mendapatkannya harus
dengan jalan usaha (ikhtiar). Allah telah ditegaskan dengan firman-Nya: “Dan tidak ada
sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”. (QS. 15; 21)
Betapapun kerasnya orang berusaha dan kemudian
mendapatkan hasil dari usahanya, rizki yang didapat itu sesungguhnya sudah
disiapkan baginya. Seandainya rizki-rizki tersebut tidak tersedia sebelumnya, mustahil
bagi orang tersebut bisa mendapatkannya? Seperti orang menanam benih dan tumbuh
menjadi tanaman misalnya, seandainya tanah yang ditanami benih itu tidak
terlebih dahulu tercipta dapat menumbuhkan tanaman, dapatkah para petani itu manuai
hasil tanamannya? Demikianlah sunnah yang sudah ditetapkan-Nya (sunnatullah). Tidak
hanya itu saja, bahkan cara mengusahakan rizki-rizki tersebut sesungguhnya merupakan
bagian dari sunnah yang sudah ditetapkan pula. Dengan sunnah-sunnah itu, setiap
makhluk hidup akan mendapatkan bagian yang sudah ditetapkan baginya.
2. Rizki
yang ditambahkan. Rizki ini bisa didapatkan ketika seorang hamba sudah mampu
bersyukur kepada Allah dari rizki yang pertama. Hal itu sebagaimana yang telah
dinyatakan dalam firman-Nya; “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih". (QS. 14; 7) Jadi, kalau manusia belum bisa
bersyukur, padahal rizkinya melimpa, betapapun besarnya kekayaan tersebut, sejatinya
harta benda itu didatangkan dari jenis “rizki yang dijamin”, bukan dari jenis “rizki
yang ditambahkan”. Jenis rizki yang pertama bukan yang kedua, hanya saja dia
mendapatkan pembagian yang lebih besar dibandingkan orang lain.
3. Rizki yang dijanjikan. Yaitu rizki yang
didatangkan dari rahasia (buah) ibadah yang dijalani. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam firman-Nya: “Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan". (QS.
16; 97)
Adapun kebutuhan hidup manusia juga
terdapat tiga macam. Pertama kebutuhan untuk kecukupan hidup
(primer). Kedua kebutuhan untuk kesempurnaan hidup (sekunder) dan
ketiga kebutuhan untuk kesenangan hidup (tersier). Kebutuhan
untuk kecukupan hidup, boleh jadi semua orang hidup sudah mendapatkannya.
Buktinya, bagaimanapun susahnya hidup seseorang, rata-rata masih bisa makan
minimal dua kali sehari. Sedangkan kebutuhan untuk hidup sempurna, oleh karena
tingkat kesempurnaan hidup ada batasnya, maka kebutuhan hidup yang kedua ini
tentunya bisa direncanakan dan dibatasi. Berbeda apabila yang dibutuhkan hidup
adalah memperturutkan kesenangan, terlebih hanya berdasarkan kemauan hawa
nafsu, kebutuhan hidup inilah yang tidak terbatas, karena batasan senang
hanyalah kematian.
Jika ketiga rizki tersebut
dikaitkan dengan ketiga jenis kebutuhan hidup, maka cara mengusahakannya
menjadi variatif. Jalan ikhtiar untuk mendapatkan rizki-rizki tersebut akan mengikuti
jenis kebutuhan hidup tersebut. Saat itulah “iman dan tawakkal” seorang hamba
diuji. Apabila dalam mengusahakan “rizki yang sudah dijamin” tersebut
menjadikan sebab keteledorannya terhadap kuwajiban sebagai seorang hamba untuk
mengabdi kepada Allah, maka berarti itu menunjukkan tanda-tanda bahwa matahati
orang tersebut sedang tertutup.
Sarana Ibadah
Seringkali orang berdalih, rizki
yang dicari-cari dalam hidupnya itu sesungguhnya hanya untuk mencukupi kebutuhan
sarana ibadah, bukan untuk menumpuk-numpuk kekayaan. Kalau memang benar-benar
demikian, maka pastinya usaha tersebut juga termasuk ibadah. Jika benar
demikian, seperti orang mengerjakan shalat misalnya, maka tentunya setiap
ibadah pasti ada syarat dan rukunnya, maka dalam mengusahakan rizki untuk
ibadah itupun harus demikian, orang beriman harus mampu memilih jalan usaha yang
dibenarkan dan dihalalkan oleh Agama, tidak dengan korupsi dan manipulasi.
Dalam kaitan tersebut,
keadaan hati manusia dapat terbaca dari bagaimana cara mensikapi harta yang
sudah didapatkan. Kalau harta-harta itu ternyata memudahkan mereka melaksanakan
ibadah dan ringan dibelanjakan di jalan Allah, berarti pengakuannya tersebut benar,
usahanya benar-benar termasuk ibadah. Apabila tidak, bahkan usahanya dalam
mencari rizki-rizki itu ternyata justru mengalahkan kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah, apalagi dengan melakukan korupsi dan manipulasi maka yang
terjadi malah sebaliknya, ibadah yang dilakukan itu sesungguhnya hanyalah dijadikan
sebagai sarana untuk mendapatkan rizki dunia, dzikir dan wiritnya supaya bisa
mendatangkan tambahan rizki dan bahkan dijadikan pesugihan. Jika kenyataannya demikian,
maka berarti matahati manusia itu sedang dalam keadaan buta.
Oleh : Muhammad Luthfi
Ghozali
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami