يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ
“Hai masyarakat jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus gugusan langit dan gugusan bumi, maka tembuslah, kalian tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan “Sulthon” (QS. ar-Rahman; 55/33)
Allah s.w.t menantang masyarakat jin dan manusia supaya mau dan mampu bergerak maju dan berkarya, tidak boleh tinggal diam hanya berpangku tangan tapi mengharapkan dapat keberuntungan. Mereka bahkan ditantang untuk menembus gugusan langit dan gugusan bumi. Diundang untuk datang ke Istana-Nya, dipersilahkan memasuki haribaan-Nya, menikmati hidangan yang tersedia, namun itu dengan syarat, terlebih dahulu mereka harus mampu menguasai ilmu dan teknologi yang berkaitan dengannya atau dengan istilah Qur’ani disebut “sulthon”.
“Sulthon” dari kata sallatho artinya menguasai, kalau dikaitkan dengan ayat di atas maka berarti penguasaan. Terkadang Sulthon juga berarti Penguasa atau Raja. Maka maksud ayat ialah: “Kalian tidak akan mampu menembus gugusan langit dan gugusan bumi kecuali sebelumnya terlebih dahulu mampu menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologinya”. Sedangkan lafad “aqthor” adalah kata jamak dari lafad qithrun, artinya gugusan. Jadi “aqthor”, artinya beberapa gugusan. Sedangkan tantangan yang dimaksud adalah menembus gugusan langit dan gugusan bumi yang ada di alam semesta.
Kalau orang mencari maknanya “ gugusan langit” dalam ayat di atas, barangkali mereka masih berpikir untuk menafsirkan ayat tersebut dengan langit bumi yang ada di atas kepala. Langit yang bisa dilihat mata, yang ada mataharinya, ada bulan dan bintangnya. Coba kalau ayat tersebut dikaji lebih luas dan lebih dalam lagi. Di manakah letak gugusan buminya? Padahal bumi yang kita pijak hanya satu dan terdiri dari tanah dan batu. Bagaimana cara orang bisa menembusnya? Dengan alat apa orang mampu menggali lubang tembus itu? Siapa pula yang pernah berhasil melakukannya?
Padahal Allah s.w.t juga berfirman di dalam QS. ath-Thalaq Ayat 12, bahwa Allah s.w.t menciptakan tujuh langit dan bumi sepertinya. Oleh karena itu, pasti yang dimaksud gugusan langit dan gugusan bumi di dalam ayat tersebut bukan langit dan bumi yang lahir saja, melainkan juga langit dan bumi yang batin yang terletak di dalam keajaiban-keajaiban ciptaan Tuhan yang ada dalam jiwa manusia. Allah s.w.t berfirman:
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang yang telah yakin -Dan juga pada jiwamu, apakah kamu tidak melihat?”.(QS. Adz-Dzariyaat; 51/20-21)
Jika orang sudah memaklumi bahwa penguasaan ilmu dan teknologi menjadikan syarat mutlak bagi terwujudnya kemudahan dan keberhasilan hidup di dunia, maka seperti itupula untuk mencapai kemudahan dan keberhasilan hidup di alam ruhaniah. Tidak bisa tidak, seorang hamba harus menguasai ilmunya pula untuk memenuhi tantangan Tuhannya bagi pengembaraan ruhaniah yang dijalani. Dalam arti menembus belenggu hawa nafsu, mendobrak barak-barak setan yang ada di dalam hati, mencuci hati dan menyepuh ruhani dengan jalan melaksanakan ibadah dan pengabdian di jalan Allah.
Ilmu pengetahuannya adalah mutiara-mutiara wahyu yang teruntai di dalam al-Qur’an dan al-Hadits sedangkan teknologinya adalah sunnatullah yang sudah tersedia dalam jiwa manusia itu sendiri. Manusia tinggal menghidupkan kembali teknologi itu dengan melaksanakan pengembaraan ruhaniah yang terbimbing. Pertama adalah usaha yang kuat dan tepat dari seorang hamba untuk menolong di jalan Allah, selanjutnya datangnya pertolongan Allah s.w.t —sebagai buah ibadah yang dijalani itu, guna terpenuhi segala maksud dan segala kebutuhan yang diharapkan.
Yang di luar adalah alam besar dan yang di dalam jiwa manusia adalah alam kecil. Masing-masing alam tersebut penuh dengan rahasia dan misteri. Manakala seorang hamba bermaksud mencari Tuhannya, mengadakan pengembaraan ruhaniah untuk wushul dengan Allah s.w.t. Pencarian itu tidaklah harus dilakukan di alam yang luar saja melainkan juga di alam yang dalam. Yaitu dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah s.w.t. Merontokkan hijab-hijab basyariah yang menyelimuti hati dengan dzikir dan fikir kepada Allah Swt. Mengekang kendali hawa nafsu dengan kendali ibadah supaya setan tidak mampu memanfaatkannya untuk membelokkan arah perjalanan.
Untuk mudahnya perjalanan, pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru-guru ruhani di dalam ibadah berfungsi mencarikan penerang jalan yang dilalui. Seperti ketika purnama sedang menampakkan mukanya, maka kemana saja sang musafir melangkahkan kaki, dengan senang hati bulan dan bintang selalu mengiringi. Seperti itulah gambaran orang bertawasul kepada guru ruhaniah, rahasia ‘nur tawasul’ itu akan setia mengiringi perjalanan sehingga seorang musafir selalu mendapat bimbingan. Sang salik akan selamat sampai tujuan meski setan selalu menghadang dengan segala jebakan.
Oleh Muhammad Luthfi Ghozali
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami