5. TADBIR DAN CARA MENYIKAPINYA




اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ ,
فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ

“Lambaikan hatimu dari apa yang sudah dalam pengaturan, apa saja yang sudah diatur oleh selainmu maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu”.

Mengatur diri untuk mengikuti apa yang sudah diatur Allah, menentukan pilihan terhadap apa yang sudah dipilihkan Allah, adalah merupakan kewajiban seorang hamba dalam melaksanakan pengabdian secara hakiki kepada-Nya. Allahlah satu-satunya yang sudah terlebih dahulu mengatur segala kehidupan alam semesta, sebagaimana firman-Nya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka”. (QS. 28; 68)

Apabila ada pengaturan dari selain-Nya yang tidak sejalan dengan aturan Rabbul Alamin, maka pengaturan tersebut akan sia-sia dan ketika masa tangguhnya telah lewat, maka aturan itu pasti akan hancur tanpa tersisa.

Merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya dari ibadah, mengatur dan memilih jenis ibadah yang minimal mendekati terhadap ketentuan Allah untuk dirinya. Menghadapi realita, baik senang maupun susah, dengan hati yang pasrah. Melenturkan hasrat dan semangat, mengikuti apa yang sedang dihadapi, karena yang sudah terjadi pasti sesuai dengan kehendak Allah, dengan keyakinan hati bahwa Allah tidak pernah salah di dalam berbuat.

Adakah orang yang mencintai akan memberikan yang tidak layak kepada yang dicintainya? maka tinggal bagaimana kekuatan iman seorang hamba dalam menyikapi realita. Ketika sedang menghadapi sesuatu yang tidak sama dengan kehendak hatinya, menghadapi musibah umpamanya, sanggupkah hatinya tetap yakin bahwa dengan musibah tersebut sesungguhnya Allah sedang menguji iman dan cintanya.

Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pengatur Alam Semesta, sebagaimana firman-Nya:  “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?.” (QS. 10; 3)

Segala yang di langit maupun di bumi, Allah adalah pengaturnya. Adapun merupakan salah satu aturan-Nya, Allah berkehendak mentarbiyah hati hamba-Nya. Dengan tarbiyah itu supaya iman mereka menjadi tumbuh berkembang, jadi yakin dan ma’rifatullah. Oleh sebab itu, terhadap seorang hamba yang dicintai, realita itu senantiasa dijadikan sarana, supaya dengan realita tersebut Allah dapat menyampaikan segala kehendak­-Nya: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”. (QS. 21; 35)

Dengan keburukan dan kebaikan itu, Allah berkehendak supaya seorang hamba sadar bahwa ia harus kembali kepada-Nya. Matahatinya kembali cemerlang seperti saat dilahirkan oleh ibunya, kembali sebagaimana fithrahnya. Untuk itu keburukan dan kebaikan dijadikan sebagai fitnah atau ujian. Dalam menghadapi realita hidup tersebut, kekuatan iman adalah hal yang sangat menentukan supaya seorang hamba mampu menyikapinya dengan tepat. Kalau iman dalam hati sudah kuat, kalau hati yakin bahwa kedua hal tersebut hanyalah sekedar batu ujian, maka apapun yang sedang dihadapi sesungguhnya secara hakiki dia berhadapan dengan Allah sebagai kehendak dan pilihan-Nya.

Oleh karenanya, seorang hamba beriman harus mencintai Allah dengan sungguh-sungguh, tidak boleh setengah-setengah. Apabila yang paling dicintai hanya Allah, sedangkan selain Allah hanyalah merupakan sarana untuk mengaktualisasikan cinta tersebut, maka bagi orang tersebut tidak ada pilihan lagi, baik susah maupun senang pasti akan dirasakan sama.

Bahkan ketika sedang susah hatinya malah senang. Sebab, disamping yakin bahwa di balik susah itu pasti ada senang, juga dengan susah itu ia dapat menunjukkan kepada kekasihnya bahwa walau sedang menerima pemberian yang tidak disukai, dia dapat menerima dengan senang hati karena yang memberi adalah Dzat yang dicintainya. Sebaliknya, ketika sedang mendapatkan senang, hatinya bahkan jadi prihatin, karena ia tahu bahwa di balik senang itu pasti adalah susah. Maka senang itu tidak dihabiskan sendiri, melainkan dibagi kepada sesama yang membutuhkan.  Allah telah menegaskan yang demikian itu dengan firman-Nya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. 33; 36)

Asy Syekh ra berkata: “Lambaikan hatimu dari apa yang sudah dalam pengaturan, apa saja yang sudah diatur oleh selainmu maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu”.

Oleh ; Muhammad Luthfi Ghozali

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami

Advertise