اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ ,
فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Lambaikan hatimu dari apa
yang sudah dalam pengaturan, apa saja yang sudah diatur oleh selainmu
maka kamu jangan mengaturnya untuk dirimu”.
Mengatur diri untuk mengikuti apa yang
sudah diatur Allah, menentukan
pilihan terhadap apa yang sudah dipilihkan Allah, adalah merupakan kewajiban
seorang hamba dalam melaksanakan pengabdian secara hakiki kepada-Nya. Allahlah
satu-satunya yang sudah terlebih dahulu mengatur segala kehidupan alam semesta,
sebagaimana firman-Nya: “Dan Tuhanmu menciptakan
apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi
mereka”. (QS. 28; 68)
Apabila ada pengaturan dari selain-Nya yang tidak sejalan
dengan aturan Rabbul Alamin, maka pengaturan tersebut akan sia-sia dan ketika
masa tangguhnya telah lewat, maka aturan itu pasti akan hancur tanpa tersisa.
Merupakan kewajiban yang tidak kalah
pentingnya dari ibadah, mengatur dan memilih jenis ibadah yang minimal
mendekati terhadap ketentuan Allah untuk dirinya. Menghadapi realita, baik
senang maupun susah, dengan hati yang pasrah. Melenturkan hasrat dan semangat,
mengikuti apa yang sedang dihadapi, karena yang sudah terjadi pasti sesuai
dengan kehendak Allah, dengan keyakinan hati bahwa Allah tidak pernah salah di
dalam berbuat.
Adakah orang yang mencintai
akan memberikan yang tidak layak kepada yang dicintainya? maka tinggal
bagaimana kekuatan iman seorang hamba dalam menyikapi realita. Ketika sedang
menghadapi sesuatu yang tidak sama dengan kehendak hatinya, menghadapi musibah
umpamanya, sanggupkah hatinya tetap yakin bahwa dengan musibah tersebut sesungguhnya
Allah sedang menguji iman dan cintanya.
Allah adalah Sang Pencipta dan Sang
Pengatur Alam Semesta, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhan
kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang
akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah
Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil
pelajaran?.” (QS. 10; 3)
Segala yang di langit maupun di bumi,
Allah adalah pengaturnya. Adapun merupakan salah satu aturan-Nya, Allah berkehendak
mentarbiyah hati hamba-Nya. Dengan tarbiyah itu supaya iman mereka menjadi tumbuh
berkembang, jadi yakin dan ma’rifatullah.
Oleh sebab itu, terhadap seorang hamba yang dicintai, realita itu senantiasa
dijadikan sarana, supaya dengan realita tersebut Allah dapat menyampaikan
segala kehendak-Nya: “Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan”. (QS. 21; 35)
Dengan keburukan dan
kebaikan itu, Allah berkehendak supaya seorang hamba sadar bahwa ia harus
kembali kepada-Nya. Matahatinya kembali cemerlang seperti saat dilahirkan oleh
ibunya, kembali sebagaimana fithrahnya. Untuk itu keburukan dan kebaikan
dijadikan sebagai fitnah atau ujian. Dalam menghadapi realita hidup tersebut, kekuatan iman adalah hal yang sangat menentukan supaya
seorang hamba mampu menyikapinya dengan tepat. Kalau iman dalam hati sudah kuat,
kalau hati yakin bahwa kedua hal tersebut hanyalah sekedar batu ujian, maka
apapun yang sedang dihadapi sesungguhnya secara hakiki dia berhadapan dengan
Allah sebagai kehendak dan pilihan-Nya.
Oleh karenanya, seorang
hamba beriman harus mencintai Allah dengan sungguh-sungguh, tidak boleh
setengah-setengah. Apabila yang paling dicintai hanya Allah, sedangkan selain
Allah hanyalah merupakan sarana untuk mengaktualisasikan cinta tersebut, maka
bagi orang tersebut tidak ada pilihan lagi, baik susah maupun senang pasti akan
dirasakan sama.
Bahkan ketika sedang susah hatinya malah senang. Sebab, disamping yakin bahwa di
balik susah itu pasti ada senang, juga dengan susah itu ia dapat menunjukkan
kepada kekasihnya bahwa walau sedang menerima pemberian yang tidak disukai, dia
dapat menerima dengan senang hati karena yang memberi adalah Dzat yang dicintainya.
Sebaliknya, ketika sedang mendapatkan senang, hatinya bahkan jadi prihatin,
karena ia tahu bahwa di balik senang itu pasti adalah susah. Maka senang itu
tidak dihabiskan sendiri, melainkan dibagi kepada sesama yang membutuhkan. Allah telah menegaskan yang demikian itu
dengan firman-Nya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.
(QS. 33; 36)
Oleh ; Muhammad Luthfi Ghozali
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami