Menanam benih itu tidak hanya di tanah
orang lain saja, namun juga dan yang lebih penting adalah di tanah sendiri,
yakni hati kita sendiri. Dengan dzikir misalnya, ketika dzikir itu diniatkan
untuk melaksanakan mujahadah kepada Allah guna membangun sebab-sebab untuk
mendapatkan akibat yang baik. Dengan amaliyah itu seorang hamba berharap
dibukakan pintu hatinya untuk menerima Nur Ma’rifat serta Rahasia-rahasia kebesaranNya, maka hendaklah seorang
hamba ingat bahwa Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karim: “Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS.
37/96)
Artinya; apapun yang dikerjakan oleh
manusia, sesungguhnya—seperti dirinya juga—pekerjaan itu adalah ciptaan Allah pula.
Oleh karenanya, sejak pertamakali amaliah itu dilakukan, hendaknya diberangkatkan
dengan pemahaman yang kuat, bahwa dzikir yang sedang dilakukan itu hanyalah
sebuah pelaksanaan (taqdir) yang sudah ditetapkan-Nya sejak zaman azali.
Orang yang sedang berdzikir itu harus
mampu meredam kemauan basyariyah dan
mengembalikan kepada ketetapan takdir azaliah serta menjiwai lafat-lafat dzikir
yang sedang dibaca dengan dasar keyakinan, bahwa seorang hamba hanya sebagai
pelaksana sedangkan Allah adalah Perencana yang Maha Perkasa. Dengan yang
demikia itu maka irodah hadits akan
menyatu dengan irodah azaliah.
Ketika irodah hadits dan irodah azali sudah menyatu dalam kesatuan
semangat. Seorang hamba berdzikir dengan usahanya dan Sang Junjungan berdzikir
dengan kekuasaan dan izin-Nya, maka yang asalnya lemah—karena dilaksanakan pada
dimensi hadits—akan menjadi kuat karena dilaksanakan
dalam nuansa kebersamaan dengan dimensi qadim.
Buahnya , maka terjadilah apa yang disebut dengan istilah “Tauhidul Fi’li”
atau satu dalam perbuatan. Yang satu merupakan perbuatan seorang hamba secara
majazi dan yang satunya adalah perbuatan Sang Junjungan secara hakiki.
Selanjutnya, seorang hamba hendaknya
mengingat lagi, bahwa Allah pernah berfirman:
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam”. (QS.
81; 29).
Artinya: Sesungguhnya apa saja yang
sudah dilakukan tersebut semata-mata hanya berangkat dari kehendak yang satu,
yaitu kehendak Allah Tuhan Yang Menciptakan Alam Semesta. Bahwa kehendak-Nya
adalah merupakan sebab pertama, kemudian dari sebab itu timbullah
kehendak-kehendak berikutnya yang tersusun sesuai skenario yang tertib—sebagai
sebab-sebab sampai kemudian timbullah suatu akibat yang baik—yakni kehendak
seorang hamba untuk melaksanakan dzikir kepada Tuhannya.
Dengan
yang demikian itu, apabila kehendak yang hadits
telah menyatu dengan kehendak yang qadim,
maka sesungguhnya tidak ada lagi yang berkehendak kecuali hanyalah kehendak
Allah Rabbul ‘Alamin.
Oleh Muhammad Luthfi
Ghozali
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami