4. GARIS KEPASTIAN DAN TAKDIR Part.1





سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَخْرُقُ اَسْوَارَ اْلأقْدَارِ

“Kemauan yang menggelora (sekalipun) tidak akan mampu menembus tirai takdir”.

Seorang SALIK (pengembara) di jalan Allah, dalam menggapai cinta dan citanya, mereka mengadakan pengembaraan ruhaniah, melaksanakan mujahadah dan riyadlah di jalan-Nya. Hal itu dilakukan disamping sebagai pelaksanaan pengabdian hakiki kepada Junjungannya, juga untuk melatih diri guna meningkatkan iman dan yakin. Mereka melaksanakan perintah Kitab Suci yang dinyatakan dalam firman-Nya:

 “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. 29; 69)

Sejak dahulu sampai sekarang, para salik itu melaksanakan mujahadahnya dengan bersungguh-sungguh, terkadang bahkan kesannya dengan cara berlebih-lebihan. Mereka seakan melupakan urusan yang lain dan mengorbankan kepentingan duniawi yang ada, yakni untuk sementara meninggalkan hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat.

Hal tersebut dilakukan baik dengan sendirian maupun dalam kelompok kecil, mereka beri’tikaf dengan bersafari dari satu masjid kepada masjid yang lain, dan terkadang juga dengan menyepi dan mengasingkan diri dari dunia ramai, tinggal di dalam gua-gua di tengah hutan bahkan bermukim dalam waktu-waktu tertentu di komplek-komplek makam para waliyullah.

Namun demikian, betapapun kerasnya usaha seorang hamba untuk menggapai segala cita-cita dan harapannya, baik yang berkaitan dengan urusan agama, dunia maupun akhirat, sesungguhnya mereka tidak akan mampu melewati batas yang sudah digariskan oleh takdir Allah baginya. Demikianlah yang dimaksud oleh asy-Syekh, dalam konsepnya di atas: “Kemauan yang menggelora tidak akan mampu menembus tirai takdir”.

Memang seorang hamba harus memulainya dengan bekerja dan berusaha. Menyingsingkan lengan baju, mencangkul dan membajak sawah, memilih benih unggul, membaca pergantian musim dan mengalirkan air dari sumber mata airnya. Akan tetapi ketika benih di tangan akan ditanam, hendaknya ditanam di tanah yang tepat serta cocok. Kalau tidak, betapapun telah dilakukan dengan memeras keringat darah sekalipun, kalau tidak ditanam di tanah yang tepat, benih itu tidak akan dapat tumbuh dengan sempurna. Kalaupun bisa tumbuh, pohon itu tidak akan dapat berbuah dengan baik. Jika terjadi demikian, berarti pekerjaan tersebut menjadi sia-sia. Amaliyah itu hanya seperti debu bertebaran yang kemudian akan hilang sama sekali.

Setiap jenis tanah pasti punya sifat khusus yang tidak dimiliki tanah lain sehingga bijian khusus dapat tumbuh secara khusus pula di tanah tersebut. Di situlah awal mula indikator rahasia takdir dapat dibaca oleh matahati yang ‘arifin. Adapun tanah yang dimaksud bukan hanya tanah yang ada dipermukaan bumi saja, namun juga yang berada di dalam dada seorang hamba yang beriman.

Allah telah menetapkan sunnah-Nya, dengan menciptakan garis-garis batas dan tanda-tanda yang jelas—terhadap setiap jenis makhluk yang diciptakan-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran; 190) Yang sejak diciptakan-Nya, tidak akan ada perubahan lagi baginya.

Seorang petani yang baik, tidaklah hanya mampu mengenali jenis benih unggul saja, namun juga harus mampu mengenali sifat tanah dan gejala pergantian musim serta jenis-jenis penyakit dan obat-obatan. Hal itu agar apa yang diusahakan minimal dapat mendekati kebenaran. Pekerjaan itu tidak melenceng dari suratan takdir yang tidak dapat ditembus oleh usaha yang bagaimanapun dari seorang hamba.

Oleh Muhammad Luthfi Ghozali
Pengasuh Ponpes Assalafi Al-Fithrah
Sumurrejo Gunungpati Semarang
Jawa Tengah INDONESIA

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami

Advertise