Perjalanan Sang Musafir
Seorang maqom asbab, ketika Allah menghendaki mengangkat maqomnya naik ke maqom tajrid, ia akan diperjalankan melalui proses kehidupan yang logis. Hanya Allah SWT yang menghendaki. Perpindahan antara dua maqom itu akan berjalan melalui sebab-sebab yang logis. Dalam kaitan hal tersebut, seorang hamba yang matahatinya cemerlang dan tanggap mengikuti proses perpindahan maqom tersebut dengan membaca dan mengikuti tanda-tandanya.
Sebelum sampai di maqom tajrid, biasanya seorang hamba terlebih dahulu akan didudukkan di maqom “asbabut tajrid”. Keadaan dimana meski sumber rizkinya tercukupi dari sebab usaha, namun usaha itu merukapan usaha yang dimudahkan. Usaha apapun dalam bidang ekonomi yang dilakukan, selalu mendapatkan kemudahan dan lancar tanpa hambatan. Dalam maqom asbabut tajrid ini rizki seorang hamba melimpah ruah, hingga rizki itu tidak tertampung dalam pengelolaan hidup baik secara rasional terlebih secara spiritual.
Hal itu bukan dari banyaknya rizki sehingga tidak tertampung di dalam kantong-kantong uang dan rekening di Bank, akan tetapi karena ruangan dalam hati sudah terlebih dahulu dipenuhi dengan urusan akhirat sehingga urusan dunia hanya mendapatkan bagian yang kecil. Akibatnya, dengan mengurusi harta yang sedikit saja, seakan-akan kesibukan hatinya menjadi terganggu, bahkan merasa tidak membutuhkan lagi kepada harta benda tersebut.
Seorang maqom “asbabut tajrid”, hatinya selalu merasa cukup dengan hartanya sekedar yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan ibadah. Padahal urusan ibadah yang dibutuhkan saat itu hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya saja—belum untuk kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, mereka merasa berat ngurus hartanya karena merasa terbebani dengan menjaga harta itu. Merasa repot dengan hartanya seperti repotnya seorang pengembala dengan domba-domba majikannya.
Hal itu disebabkan, karena hatinya tidak merasa memiliki atas pemilikan tersebut, meski harta itu sesungguhnya didapatkan dari hasil usaha yang diusahakan sendiri Juga karena mereka merasa yakin bahwa dengan segala kenikmatan itu akan dituntut dan untuk mempertanggungjawabkan di hadapan pemilik yang sesungguhnya
Dia takut mati dengan meninggalkan warisan harta benda. Hal itu disebabkan, karena dengan harta peninggalan itu bisa jadi akan berakibat buruk kepadanya. Akibatnya, sedikitpun tidak ada harta benda yang diatasnamakan pribadi. Semuanya sudah diserahkan kepada yang berhak sebelum ajal kematiannya tiba
Suatu saat, ketika Allah SWT berkehendak menyempurnakan kedudukannya pada maqom tajrid, Allah mengabulkan segala harapannya. Harta yang masih dimiliki dihabiskan dari penguasaannya, sehingga orang lain yang melihatnya menjadi susah dan bingung. Namun dirinya menerima kenyataan itu dengan senang hati dan damai bahkan seperti budak belian yang telah dimerdekakan oleh majikannya.
Ketika sedikit demi sedikit keadaannya dirubah. Yang asalnya jelek menjadi baik, yang asalnya kurang baik menjadi lebih baik. Teman-temannya, yang dahulu hanya yang berkaitan dengan urusan dunia kini diganti dengan teman-teman baru yang berkaitan dengan urusan akhirat.
Bahkan anggota keluarganya—karena dahulu rumah tangga itu hanya dibangun dengan landasan dunia saja—ketika sudut pandang hatinya sudah berubah, maka berubah pula orientasinya, dari yang dulunya hanya untuk dunia saja kini yang utama adalah akhiratnya. Perbedaan sudut pandang antar anggota keluarga menjadi persoalan ketika mereka tidak berhasil menyatukan sudut pandangnya itu.
Ketika yang asalnya palsu menjadi asli, maka secara naluriah yang asli pasti akan mengajak dan menuntut supaya yang asalnya palsu juga menjadi asli. Ketika yang palsu ternyata tidak juga mau menjadi asli, maka yang palsu itu akhirnya akan terpental dan terpaksa meninggalkan diri. Itulah konsekuensi maqom kehidupan yang harus dijalani. Proses kejadian-kejadian alamlah yang telah menyeleksi. Sehingga melalui realita yang logis, satu demi satu anggota keluarga yang kurang sejalan itu meninggalkan dirinya dan akhirnya berganti menjadi anggota keluarga baru yang lebih dapat saling mengerti:
”Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang ta`at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan”. (QS. at-Tahrim; 5)
Ketika saatnya Allah SWT berkehendak memindahkan hamba-Nya itu ke alam kehidupan yang lebih kekal. Allah benar-benar mematikannya dalam keadaan hati yang bersih dari kepemilikan dunia. Bukan berarti mati dalam keadaan ketiadaan harta, akan tetapi justru sedang berlimpah, namun seluruh kekayaan itu sebelumnya telah terlebih dahulu dikeluarkan dari hak kepemilikan dalam hatinya dan diserahkan kepada pemiliknya yang hakiki, Allah SWT.
Oleh: Muhammad Luthfi Ghozali
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan komentar, pesan, kritik atau saran untuk kami